Tradisi Membunuh Ku

Tradisi Membunuh Ku
(Tradisi Orang Timor)

Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu propinsi yang kaya akan suku, budaya, bahasa dan adat-istiadat. Suku Timor adalah satu dari ratusan suku yang terdapat di Propinsi NTT dengan nama suku sebenarnya adalah suku Dawan. Sebutan suku Timor sendiri muncul dari kebiasaan masyarakat pendatang yang menyebut orang-orang Dawan dengan sebutan orang Timor yang berarti orang yang mendiami pulau Timor. Secara umum, Pulau Timor terbagi atas dua bagian yaitu Pulau Timor bagian Timur  (Timor Timur) yang kini menjadi Negara Timor Leste dan Timor Barat yang terbentang dari Kota Atambua hingga wilayah paling barat yakni Desa Tablolong-Kupang Barat. Suku Dawan sendiri pada umumya mendiami Pulau Timor bagian Barat yang mana Timor Barat inipun terbagi lagi dalam berbagai kelompok masyarakat dengan jenis budaya yang sedikit berbeda. Pada umumnya cukup terkenal dengan beberapa kelompok masayarakat yakni Amanuban, Amanatun, Amafoang, Amarasi, Mollo, dan lain sebagainya. Menurut Folklor atau cerita rakyat, dahulu pembagian masyarakat ini berasal dari beberapa julukan yang diberikan kepada tokoh adat di daerah Timor Barat. Semoga dapat dibahas dalam kesempatan berikutnya.

Topik pembahasan kali ini saya ambil dari salah satu kelompok masyarakat diatas yakni masyarakat di daerah Amanuban. Adapula penulisan artikel ini murni sebagai opini pribadi dan tanggapan atas penyalahgunaan budaya yang “salah” oleh beberapa oknum dengan latar belakang sebagai orang Timor Amanuban. Kisah dalam tulisan ini juga murni merupakan pengalaman pribadi dengan tanpa berusaha mengeneralisir seluruh kalangan masayarakat Amanuban. Telah kita ketahui bersama bahwa kebudayaan merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak terkecuali dengan budaya orang Timor Amanuban. Kekayaan budaya ini sesungguhnya perlu dilestarikan agar tidak ikut larut dalam seleksi alam, dimana yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan lebur termakan oleh zaman. Namun berdasarkan pengalaman yang pernah saya alami, maka saya pikir akan lebih baik jika budaya masyarakat tradisional tersebut dihilangkan dan sebaiknya dikubur secara paksa agar dapat hilang dengan pembalasan yang memuaskan.

Kebudayaan yang dimilki oleh orang Timor Amanuban tentu sangat melimpah, dimulai dari kebudayaan untuk menyambut kelahiran seorang anak, prosesi kelahiran, kehidupan sehari-hari, pernikahan, rumah tangga hingga budaya-budaya yang perlu dilakukan dalam upacara kematian. Selain itu adapula kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat baik kepercayaan akan keberadaan Tuhan, pemanfaatan ilmu sihir dengan kepercayaan mistis, penyembahan benda-benda keramat, kepercayaan akan kuatnya pengaruh roh para leluhur dan lain sebagainya. Hal ini tentunya menarik untuk dikaji lebih lanjut dengan memperhatikan manfaat akan keberadaan budaya tersebut, namun kali ini saya akan memberikan sedikit opini yang berlandaskan pada pengalaman pribadi dengan melihat dari sudut pandang “korban” penyalahgunaan budaya seperti linta darat berbisa yang membunuh secara perlahan tanpa adanya pengampunan sedikitpun. Tak peduli siapa yang ia bunuh, siapa yang menjadi korbannya, seakan tertawa dengan keras sembari berkata “saya tak peduli, itu bukan urusan saya” meskipun dalam hal ini korban yang berjatuhan adalah saudaranya sendiri.

Fenomena ini berawal dari keberadaan budaya yang kami anut sekeluarga yakni budaya Timor Amanuban. Seperti yang telah disebutkan diatas akan banyakya peraturan budaya tak tertulis yang harus dijalankan oleh seseorang dengan latar belakang orang Timor yang tentunya tidak dapat dijabarkan satu per satu dalam tulisan ini. Saya hanya mencoba menyampaikan beberapa bagian yang menurut saya sangat penting untuk dikaji kembali oleh masyarakat setempat. Saya pikir kisah ini berawal dari sebuah cerita romantis akan pertemuan dua insan manusia yang saling mencintai dan berusaha untuk saling menjaga satu sama lain dengan cara yang lebih baik yakni melalui ikatan pernikahan dengan tanda lingkaran tak berhujung dijari manis keduanya. Namun agar dapat mengaitkan jari-jemarinya pada lingkaran tak berhujung itu membutuhkan cara dan proses yang cukup panjang. Kata salah seorang teman kala itu “akan jauh lebih baik jika saya menghamili si gadis agar dapat menikahinya dengan cara yang mudah”. Saya pikir kalimat ini mungkin menjadi salah satu faktor tingginya angka perkawinan usia muda di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Dan, ah ya kembali lagi kepada kisah dua insan yang akan mempersiapkan acara pernikahannya. Persiapan ini dapat dikatakan cukup lama mungkin berkisar dalam rentan waktu 2 hingga 3 tahun.

Persiapan yang dilakukan tentunya cukup banyak, baik dari persiapan finansial, fisik, alokasi waktu hingga yang terpenting adalah persiapan mental untuk menghadapi sejumlah tahapan yang perlu dilalui untuk dapat hidup bersama saling menjaga hingga ajal menjemput. Sejumlah persiapan itu tentunya cukup normal untuk kalangan masyarakat di Indonesia yang  masih cukup kuat dalam melestarikan budayanya, namun yang menjadi permasalahan disini adalah  kebudayaan Amanuban yang mewajibkan keberadaan Atoin Amaf   yang datang dari negeri antah berantah. Atoin Amaf  merupakan istilah yang diambil dari Bahasa Dawan yang berarti orang tua. Namun perlu diketahui bahwa orang tua atau Atoin Amaf yang dimaksud disini bukan ditujukan kepada orang tua kandung dari pasangan yang akan menikah, melainkan ditujukan kepada saudara laki-laki dari Ibu mempelai perempuan yang akan menikah atau dalam kalangan masyarakat umum sering disebut dengan istilah “Om atau Paman, Pak De, Pak Le” dan sejenisnya.

Dalam budaya Amanuban, ketika seorang wanita akan menikah maka Atoin Amaf  tersebut wajib hadir dalam acara pernikahannya (kasusnya akan berbeda apabila Ibu mempelai perempuan tidak memiliki saudara laki-laki). Keberadaan Om atau Atoin Amaf dalam prosesi pernikahan merupakan hal yang sangat vital karena selain sebagai salah satu anggota keluarga yang penting, Atoin Amaf juga memiliki peranan yang besar dalam menentukan besarnya maskawin atau belis (dalam bahasa dawan) yang harus dipenuhi oleh sang mempelai laki-laki agar dapat menikahi gadis pujaannya. Sampai detik tulisan ini diselesaikan, saya sendiri belum dapat memahami apa urgensi atau nilai yang dianut dalam budaya ini. “Mana mungkin seorang Atoin Amaf memiliki hak yang lebih besar untuk menentukan keberlangsungan pernikahan seorang anak perempuan dibandingkan orang tua kandungnya sendiri”. Disini saya pikir beberapa oknum telah menyalahkgunakan budaya Amanuban untuk kepentingan pribadi.

Kasus kali ini bermula dari persiapan pernikahan saudari perempuan saya. Terlalu banyak hal yang perlu ia persiapkan sendiri termasuk dengan memakmurkan dan memuliakan Atoin Amaf  yang harus hadir dalam acara pernikahannya. Perlu saya ingatkan kembali bahwa Atoin Amaf merupakan saudara laki-laki kandung dari Ibu mempelai perempuan. Sekali lagi jangan pernah lupakan kata-kata saudara kandung dalam memahami tulisan ini. Hal ini cukup saya tekankan karena saya pikir kedekatan keluarga dengan status seperti itu seharusnya dapat saling mendukung satu dengan yang lainnya bukan sebaliknya. Status seorang “Om” tentunya harus ikut berpartisipasi dalam mewujudkan kebahagiaan keponakannya seperti mimpinya mewujudkan kebahagiaan anak kandungnya sendiri. Sebelumnya telah saya paparkan bahwa Atoin Amaf  atau Om ini sebelumnya telah dimuliakan semaksimal mungkin oleh saudari perempuan saya.

Pemuliaan yang dimaksud dilakukan dengan berbagai cara, khususnya adalah dengan selalu memberikan bantuan finansial untuk beberapa keperluan Atoin Amaf tersebut tentunya dengan kata pengantar “jika engkau tak memiliki uang, maka tidak masalah namun tunggulah saatnya”. Kondisi ini tentunya tak dapat saya lupakan dengan status pekerjaan Atoin Amaf yang jauh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan saudari perempuan saya. Ah ya, perlu diketahui bahwa alamarhumah Ibu saya memiliki beberapa orang saudara laki-laki dan beberapa orang saudari perempuan dengan karakter yang cukup mirip. Apabila kesulitan menimpa mereka maka orang yang akan dihampiri adalah saudari perempuan saya tentunya dengan kata pengantar yang sama. Kata “saatnya” yang saya tuliskan sebelumnya, secara tersirat ditujukan kepada acara pernikahan yang akan dilalui oleh saudari perempuan saya dalam rentan waktu yang cukup dekat. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya ia pun selalu memenuhi permintaan sanak saudara almarhumah Ibu (semoga beliau tenang di alam sana dan tidak keberatan dengan tulisan ini).

Bumi terus beputar, detik per detik terus berlalu, satu per satu permintaan oknum-oknum berkedok budaya ini telah dipenuhi hingga tiba saatnya h-7 hari acara pernikahan akan dilangsungkan. Tak lupa bahwa acara pernikahan di kalangan masyarakat Timor dapat berlangsung selama 7 hari dengan 3 hari merupakan acara inti dan 4 hari lainnya merupakan acara persiapan seperti kumpul keluarga, persiapan barang-barang yang akan digunakan untuk menyambut mempelai laki-laki, penerimaan sumbangan atau manekat dari sanak saudara hingga yang terlama adalah pembuatan tenda besar yang mencakup dapur, ruang makan, gudang makanan, hingga yang terpenting adalah tempat resepsi pernikahan dengan kriteria yang entah akan saya paparkan dalam tulisan yang lain dan jika engkau tau, pesta di Timor dapat mengundang ratusan hingga ribuan orang.

Permainanpun dimulai pada waktu h-7 hari tersebut, ketika beberapa moment penting sangat membutuhkan keberadaan Atoin Amaf  namun yang terjadi adalah Atoin Amaf  tersebut harus dijemput dengan membawa berbagai “barang sesajian”. Pada tradisi yang sebenarnya hal ini tidak diperlukan namun dalam kasus ini sangat diperlukan,  barang sesajian ini hanya dibawa untuk sekedar memuja Atoin Amaf tersebut agar ia dapat hadir dalam beberapa momen yang berlangsung sebelum acara resepsi pernikahan. Barang sesajian yang dibawa dapat beraneka macam mulai dari sirih pinang, uang, emas, minuman keras, hewan ternak dan lain sebagainya. Dalam kasus ini kami hanya membawa sirih pinang, beberapa lembar rupiah dan beberapa botol minum keras berharap Atoin Amaf dan serumpun keluarga dari Ibu akan datang mmembantu persiapan acara pernikahan namun realitanya tak semudah ekspektasi yang dibayangkan. “Pemujaan” yang dilakukan ternyata tak cukup “mewah” dan tak cukup mampu menyentuh lubuk hati keluarga Ibu tercinta. Mirisnya hal ini tidak hanya dilakukan oleh keluarga almarhumah Ibu namun juga dilakukan oleh keluarga sekandung Ayah.

Sebelumnya perlu diketahui bahwa pesta pernikahan yang dilangsungkan ini merupakan pesta yang kami lakukan pertama kali sepanjang sejarah kehidupan. Saudari perempuan saya yang akan menikah ini merupakan anak pertama dari 7 orang bersaudara. Usia kakak pada saat itu menginjak 27 tahun, dan bisa dibayangkan sendiri berapa usia adik-adik dibawahnya yang tentunya belum cukup paham akan hal-hal yang berkaitan dengan acara kebudayaan seperti itu. Adapula Ayah merupakan orang yang enggan dan tidak peduli dengan keberadaan budaya tersebut dimana kondisi ini juga bermula dari kekecewaan beliau akan kejamnya kebudayaan yang dianut oleh leluhur kami. Bisakah anda membayangkan bagaimana kemapuan Kakak dalam menyiapkan urusan tersebut seorang diri ? Adapun keluarga dekat Ayah dan Ibu baru saja datang ketika h-1 hari acara akan berlangsung dengan suatu fenomena lucu bahwa jarak rumah kami dengan sanak keluarga ini bisa dibilang hanya sejengkal tangan anak kecil. Tahukah anda apa penyebab tingkah laku itu dapat terjadi ? It’s so simple, karena mereka berharap agar kami harus datang kepada mereka dengan membawa sejumlah uang dan beberapa ekor hewan ternak untuk meminta kehadiran mereka (katanya sih ini tradisi).

Kondisi ini dapat kami lewati dengan baik, meskipun dengan pengetahuan seadanya bermodalkan seni bahasa untuk bertanya kepada orang lain, bermodalkan keramahan dan kerendahan hati bantuan dari surga pun berdatangan dan  persiapan pernikahan bisa dikatakan selesai. Saya pikir mungkin para tetangga dan kenalan baik Ayah yang berdatangan merupakan malaikat tak bersayap yang dikirim Allah dan almarhumah Ibu untuk menunjukan keadilan yang hakiki. Pada saat yang bersamaan nama besar Kakak dan Ayah telah banyak ternoda diluar sana. “Ah siapa yang peduli dengan cemooh tak bertuan disana, yang terpenting adalah persiapan acara pernikahan telah selesai dilaksanakan” (gumam ku dalam hati). Namun, masalah tak berhenti disitu atau mungkin Allah masih cukup sayang kepada kami sehingga ia memberikan cobaan yang lainnya melalui perantaraan tradisi adat istiadat di hari pernikahan Kakak. Masalah muncul dengan perebutan hak pendampingan mempelai wanita oleh orang yang ditunjuk oleh Ayah untuk menggantikan posisi beliau dan Ibu (pernikahan berlangsung di gereja, kami sekeluarga adalah muslim dan Kakak ku menikahi seorang kristiani sehingga kami tidak dapat menghadiri ibadah pernikahannya di gereja).

Hak mendampingi mempelai perempuan digerejapun menjadi awal masalah yang cukup besar. Sudahlah bisa dibilang ada kesahpahaman disana akan siapa sejatinya yang berhak mendampingi Kakak di gereja yakni saudara dari keluarga Ayah atau saudara dari keluarga Ibu. Jangan lupa bahwa ini ditinjau dari perspektif budaya bukan dari apapun, entah amanah yang telah diberikan Ayah atau apapun itu. Ibadah digerejapun selesai dilangsungkan, saatnya kembali ke rumah untuk melangsungkan acara syukuran dan makan bersama. Disini masalah masih berlanjut sehingga sanak keluarga Ibu dengan posisinya sebagai Atoin Amaf  tidak ikut dalam prosesi makan siang bersama. Jika saja anda paham ini adalah sebuah masalah besar. Namun sebelumnya telah kami undang ke meja makan dengan perlakuan yang sangat mulia (berlutut dihadapan mereka memohon agar mereka ikut menyantap makan siang bersama tamu undangan yang lainnya). Ah ya sudahlah, sampai berdarah lutut inipun ternyata tak cukup meluluhkan hati Atoin amaf.

            Salah satu acara prosesi pernikahan telah berlalu dengan baik meskipun terdapat masalah yang cukup besar dibelakangnya. Namun waktu seakan enggan diajak bernegoisasi, berlari seakan dikejar maut dan malam haripun tiba, acara terbesarpun akan segera berlangsung yakni resepsi pernikahan. Disana, acara berlangsung dengan sangat meriah berbekal bantuan para malaikat tak bersayap. Kedua insan manusia berbalut busana pengantin terlihat begitu memukau dipelaminan. Ditemani pasangan keluarga dan saksi, suasana pelaminan seakan begitu megah, begitu memukau dengan keliauan gaun pengantin dan aneka hiasan pelaminan. Namun tentunya kita tidak lupa dengan masalah yang terjadi sejak beberapa hari yang lalu hingga malam itu belum terselesaikan dengan baik. Jamuan makan malampun telah tersedia dengan rapi, begitu menggoda lidah dengan aroma yang khas disempurnakan oleh balutan taplak putih dengan aneka jenis perhiasan meja yang berkilauan. Seluruh tamu undangan kemudian dipersilahkan untuk ikut menyantap makan malam tak lupa juga sanak keluarga Ibu yang tengah duduk di tenda pelaminan. Dan lagi utusan demi utusanpun kembali dengan hampa. Atoin Amaf dan serumpun keluarga Ibu duduk bersamanya seakan engggan berpisah satu dengan yang lainnya. Tentu engkau paham jika berbagai utusan yang dikirm untuk mengajak mereka menyantap makan malam terus ditolak maka engaku tentunya tau bahwa ada masalah besar disana. Hingga saya ingat dengan baik, betapa sakitnya lutut ini ketika harus kembali memohon kepada mereka untuk ikut datang ke meja makan. Yap, semuanya sia-sia. Dan juga perlu dipahami bahwa permohonan dengan cara berlutut adalah salah satu bagian dari budaya yang harus dilakukan.

Tahukah anda apa yang menyebabkan mereka enggan untuk ikut menikmati jamuan makan malam ? Yap, hanya sebuah masalah kecil yang sungguh sangat tidak layak untuk dipaparkan dalam tulisan ini. Mungkin sekedar menginginkan turunnya pengantin dari pelaminan untuk mengundang mereka ke meja makan. Dapatkah anda bayangkan betapa sulitnya hal itu dilakukan dengan balutan gaun yang cukup berat dan medan altar yang tidak cukup datar serta keharusan agar tetap duduk dipelaminan menjadi faktor pengahambat yang sangat tidak memungkinkan pengantin untuk turun dan mengundang Atoin Amaf ke meja makan. Beberapa saat kemudian sekelompok keluarga itupun pergi meninggalkan tenda pernikahan tanpa pamit. Dan tentu semua orang paham hal itu bukanlah hal yang lumrah terjadi. Namun sungguh Allah sangat sayang kepada kami sehingga meskipun tengah terjadi perang dingin antar beberapa kubu keluarga namun acara tetap berlangsung dengan meriah. Tamu undangan terlihat ikut bahagia, menikmati jamuan makan malam dengan cukup puas, hingga ikut berpesta dan berdansa dan menari bersama hingga pagi menjelang.

Dua acara telah berlangsung dengan baik dan kini memasuki acara hari ke-3 yakni acara adat pernikahan. Perlu diketahui bahwa biasanya prosesi adat ini dilangsungkan sebelum acara resepsi pernikahan namun bisa dibilang ini merupakan salah satu startegi cerdik yang kami lakukan agar mencegah terjadinya hal-hal buruk sebelum acara resepsi penikahan yang tentunya akan merusak segalanya. Hal-hal buruk yang dimaksud adalah berbagai hal yang dapat terjadi dalam prosesi adat, seperti ketidak hadiran Atoin Amaf , kesalahan lisan dan tingkah laku yang dapat menimbulkan denda sejumlah uang, hingga masalah enggannya mereka untuk ikut makan bersama yang juga tentunya menjadi masalah tersembunyi. Jika saja hal ini terjadi sebelum acara resepsi pernikahan, maka dapat dipastikan bahwa acara resepsi tidak akan dapat dilakukan. Dan kekhawatiran pun benar-benar terjadi, dimana hari ke-3 akan dilangsukannya prosesi adat yang telah saya sampaikan sebelumnya bahwa pada prosesi ini keberadaan Atoin Amaf sangat penting, wajib dan sangat wajib untuk hadir disana namun kenyataannya berbalik. Tak ada serorangpun keluarga Ibu yang hadir dihari berlangsungnya prosesi adat. Bahkan sebelum acara adat ini berlangsung (sekitar h-7 jam), pasangan pengantin yang barusaja resmi menikah kemarin telah pergi menemui Atoin Amaf. Bersmpu dikakinya, berlutut, meneteskan air mata dihadapan Atoin Amaf tersebut seakan memuja dan memohon pertolongan kepada mereka agar dapat hadir dalam acara adat tersebut. Ingat sekali lagi bahwa Atoin Amaf adalah saudara laki-laki kandung dari Ibu. Namun apa daya, berlutut saja tidak cukup, menangis saja tidak cukup. Semuanya akan cukup terbayarkan dengan setumpuk uang senilai 5 juta dan beberapa ekor sapi sebagai ganti atau denda akan kesalahan yang telah diperbuat beberapa hari ini.

Permintaan sejumlah uang dan beberapa ekor sapi diatas tentunya tak dapat dipenuhi. Acara pernikahan yang berlangsung selama 7 hari ini membutuhkan biaya yang cukup besar sehingga pengeluaran tambahan seperti denda ini tidak dapat dipenuhi. Ah ya, tentunya ini merupakan sebuah tradisi yang harus dijalankan agar dapat memperbaiki hubungan kekeluargaan yang cukup dingin beberapa hari yang lalu. Tak dapat dipenuhi, Atoin Amaf pun enggan hadir dalam prosesi adat pernikahan tersebut dan bisa dibilang kali ini kami telah melanggar kebudayaan atau tradisi yang dianut oleh kalangan masyarakat Amanuban. Namun apa daya, usaha telah dilakukan semaksimal mungkin namun hasilnya tidak cukup memuaskan dan kami sekeluarga harus siap dengan berbagai kutukan Atoin Amaf yang datang. Acara adatpun berlangsung dengan lancar tanpa kehadiran Atoin Amaf bersama serumpun keluarga Ibu. Kini kami telah pasrah kepada kehendak Allah akan takdir yang datang menghampiri. Seluruh rangkain acara pernikahan berlangsung dengan baik terkecuali masalah (Ataoin Amaf). Beberapa hari kemudian kami sekeluarga menyusul ke kampung halaman sanak keluarga Ibu dan tentunya bertemu dengan Atoin Amaf (kepergian kami tanpa Ayah dan Kakak) 6 bersaudara yang masih cukup muda memberanikan diri pergi menyusuri perjalanan panjang ratusan kilo meter mengantakan seekor hewan ternak dan beberapa kilogram beras ke kediaman Atoin Amaf  dengan maksud mengantarkan makanan yang belum sempat mereka santap dalam acara besar kemarin. Sepanjang perjalanan dengan iringan do’a Kakak dan Ayah semoga apa yang kami lakukan dapat memberikan nilai postif bagi kami.

Pernikahan telah selesai dilangsungkan namun tradisi masih berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai masalah tersebut lagi dan lagi menuntut denda yang cukup besar meliputi emas, uang, hewan ternak dan lain sebagainya. Sedikit melakukan kesalahan maka segera siapkan sejumlah uang dan hewan ternak maka engkau akan bebas dari kutukan maut. Melihat kondisi ini, saya dan beberapa saudara yang belum menikah bertekad untuk berusaha menjauhi budaya Timor Amanuban yang kami anut. Pergi menjauhi kampung halaman mencari budaya modern yang memudahkan kehidupan manusia. Karena pada kenyataannya kebudayaan yang kami anut tidak memberikan nilai tambah sedikitpun, tradisi demi tradisi terasa seperti lintah darat yang terus menghisap darah kami tanpa pengampunan sedikitpun. Diam, tenang, namun membunuh secara perlahan dengan cara yang tragis.  Namun tidak, sekali tidak. Kami memilih untuk terus bertahan hidup. Enggan untuk hidup bersama para pembunuh berdarah dingin tersebut. Mungkin satu-satunya cara yang dapat kami lakukan adalah dengan pergi menjauh, meninggalkan kampung halaman dan mengadopsi budaya modern agar dapat terus bertahan hidup. Ah ya, kami sekeluarga menolak dibunuh oleh tradisi. Sekian


6 Comments to “Tradisi Membunuh Ku”

  1. BENE berkata:

    Tulisan ini menarik. Apa boleh saya meminta nomor wa atau email untuk berdiskusi beberapa hal?

    • Hallo Bapak/Kakak.
      Terima kasih atas keluangan waktu Bapak/Kakak untuk membaca tulisan saya yang bisa dibilang masih acak-acakan.
      Terima kasih juga atas apresiasi dan undangan diskusinya.
      Saya merasa sangat terhormat.
      Silahkan menghubungi saya melalui email : nursaadahnubatonis@gmail.com
      Saya akan mengirimkan kontak WhatsApp saya melalui email.
      Semoga berkah selalu dilimpahkan untuk Bapak/Kakak.
      Salam hormat,

      Terima kasih

  2. Grace berkata:

    Saya orang Timor, namun baru tau ada kasus seperti ini di sana. Mungkin sudah lumrah, atau kasusnya sering diredam pihak keluarga yah. Yang penting prosesi pernikahan sang Kakak sudah berlangsung. Mata Tuhan tak kurang tajam untuk melihat umat-Nya yang “tertindas” dan tangan-Nya tak kurang panjang untuk melawat yang terluka serta memberi ganjaran yang setimpal bagi yang sewenang².

    • Hallo Kak Grace,
      Terima kasih banyak 🙂
      Senang sekali ada yang membaca tulisan ini dan memberikan do’a dan dukungan yang baik 🙂
      Sekali lagi terima kasih banyak 🙂
      Dan saya juga saya kira mungkin tidak semua, tetapi tetap saja kenyatannya memang ada yang seperti itu 🙁
      Saya pun pernah menyaksikan beberapa kejadian yang mirip seperti yang saya paparkan dalam tulisan ini.
      Sayang sekali, tradisi yang seharusnya kita jadikan sebagai penuntun kehidupan yang baik,
      justru dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
      Seakan mencoreng tradisi yang baik itu menjadi tradisi yang buruk 🙁
      Sayang sekali 🙁

      Salam hormat & hangat,
      Penulis

  3. Ignasius Nai berkata:

    Selamat malam Pak, sy bisa minta no WA, sy orang Flores kebetulan calon saya orang Amanatun Utara,, sy minta penuturan ttng perkawinan budaya di sana. ??

    • Hallo, selamat malam 🙂
      Terima kasih telah mampir dan membaca tulisan saya 🙂
      Ah ya, terkait Amanatun Utara, saya tidak yakin bisa membantu karena saya sendiri orang Amanuban.
      Tetapi sekiranya ada hal lain yang bisa saya bantu, silahkan menghubungi saya melalui email ini
      nursaadahnubatonis@gmail.com
      Saya akan memberikan nomor HP saya melalui email.
      Terima kasih

Leave a Reply