Berbagai Cerita Strategi Kewirausahaan Sosial
Yogyakarta, 27 November 2018
Lokasi : Markas Moris Diak, Kasongan, Bantul – Yogyakarta
Notulensi Singkat dari Acara Sarasehan
“Berbagai Cerita Kewirausahaan Sosial”
Bersama Dicky Senda dari Komunitas Lakoat Kujawas, Unu D Bone dari Komunitas Tas Pustaka, Mila Wulandari dari Komunitas Moris Diak, Mbak Kartika Handriani dari Kanuku Coffe, Kak Ney Dinan dari Rumah Tenun Baku Pikul Labuan Bajo, dan berbagai aktivis sosial lainnya.
(Notulensi ini merupakan notulensi pribadi dalam ingatan, wkwk yang coba saya curahkan dalam blog ini agar tidak hilang ditelan kesibukan. Ah ya notulensi juga akan coba saya jabarkan per bagian panelis yang saya ingat. Sehingga jika ada yang kurang mohon dimaklumi)
- Moris Diak (oleh Mila Wulandari)
Pemaparan tentang Brand Moris Diak adalah materi pertama yang saya dapati saat tiba di acara sarasehan kemarin. Itupun tidak banyak yang sayang dapati, karena pemaparan sudah memasuki tahap kesimpulan. Gambaran singkat yang saya dapat dari pemaparan cerita pertama adalah bahwaMoris Diak adalah salah satu jenis wirausaha sosial yang coba dikembangkan untuk kembali memperkenalkan hasil karya anak bangsa berupa kain tenun lokal, dan berbagai jenis kain-kain lokal dari beberapa daerah di Indonesia yang salah satunya adalah kain tenun dari Nusa Tenggara Timur. Hari ini, ketika industri printing telah marak digunakan untuk mencetak berbagai model kain tenun, dan kain-kain daerah lainnya pada selembar kain tipis dengan harga yang murah untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, Brand Moris Diak justru tampil dengan style yang berbeda. Brand Moris Diak mencoba menggunakan kain tenunan yang asli (langsung dibeli dari para penenun lokal di Nusa Tenggara Timur), yang kemudian dikemas dalam berbagai model barang yang menarik dengan sedikit polesan desain yang unik, dan sedikit tambahan kain buatan pabrik. Kain tenun dengan berbagai motif tersebut kemudian dikemas dalam berbagai bentuk tas yang dibutuhkan oleh seluruh kalangan. Sekali lagi kain tenun yang digunakan adalah kain tenun asli, yang proses pembuatannya bisa bekisar antara 2 bulan sampai 1 tahun (tergantung motif, ukuran dan model kain yang akan dibuat) yang kemudian dijual dengan kisararan harga puluhan ribu rupiah hingga jutaan ribu rupiah. Pewarna benang yang digunakan juga merupakan warna alami yang diracik dari aneka tanaman khas Nusa Tenggara Timur.
Kain tenun yang telah diubah menjadi berbagai model tas dan busana kemudian dijual dengan harga yang cukup bervariasi (balik lagi tergantung komposisi, model, warna dan motif kain tenun yang digunakan). Silahkan cek akun media sosial Brand Moris Diak yaa kawan.
Meskipun demikian, keunikan barang-barang brand Moris Diak bukan hanya tentang harga jualnya, bukan juga tentang desainnya, tetapi tentang nilai dari setiap potongan kain tenun yang dijual. Tentang cerita budaya dan seni yang dikemas dalam sebuah produk berupa kain tenun. Tentang budaya dan pengetahuan yang diwakili oleh berbagai motif kain tenun. Berbagai cerita nilai budaya yang dijual kemudian menjadi ciri khas setiap produk yang dipasarkan. Selengkapnya dapat dibaca pada keterangan setiap produk yang dipasarkan oleh Brand Moris Diak (cek facebook/instagram Moris Diak). Singkat cerita mereka bukan menjual sebuah tas, tetapi nilai dibalik pembuatan tas tersebut.
Inttinya : Moris Diak memiliki misi untuk memberdayakan kaum perempuan dengan memberikan ruang kepada mereka untuk berkarya dan meningkatkan perekonomian keluarga, juga memperoleh pelatihan untuk meningkatkan skill mereka. Moris Diak juga melibatkan anak muda khususnya mahasiswa dan pihak universitas untuk melakukan berbagai riset dan capacity building. Selain itu juga diharpkan mampu meningkatkan serta memberikan edukasi khususnya untuk membmbangun kesadaran akan potensi budaya dan pelatihan craft.
Semua ini pada akhirnya dilaukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia khususnya mama-mama penenun di daerah serta melestarika budaya Indonesia
Note : Salah satu produsen kain tenun yang digunakan oleh Moris Diak adalah kain tenun yang berasal dari Komunitas Sosial Lakoat Kujawas (baca ulasan dampak penjualan kain tenun tersebut pada masyarakat pada salah satu bagian tulisan ini khususnya pada bagian Lakoat Kujawas)
- Kanuku Coffee
Kanuku Coffee adalah salah satu jenis usaha yang juga dikembangkan oleh Mbak Mila Wulandari dan Mbak Kartika Handriani beserta suami dan Anak Mbak Tika yang namanya adalah Kanuku (kemudian dijadikan brand kopi) Kanuku Coffee. Bahan baku kopi yang digunakan dalam berbagai brand Kanuku Coffee adalah jenis kopi robusta yang berasal dari Pati, Jawa Tengah (seriusan sebagai salah satu penikmat kopi di Jogja, I think produk Kanuku Coffee mantap). Hehe (bukan promosi cuuy, tapi emang faktanya begitu, kalau ngak percaya coba ajah sendiri).
Nahh lagi, kopi yang ditawarkan disini bukan sekedar kopi, tapi lagi dan lagi yang mereka jual bukanlah sekedar kopi, tapi cerita dan nilai dibalik secangkir kopi ataupun produk-produk kopi. Usaha kopi ini juga tidak sekedar bergerak untuk memperoleh keuntungan semata, tapi juga untuk mengkaderisasi para pekerjanya menjadi pengusaha-pengusaha hebat yang bergerak dibidang sosial. Para pekerjanya baik perempuan maupun anak muda dikaderisasi untuk tidak sekedar bekerja, tetapi juga berkembang sehingga apabila hari ini bekerja dibagian panen kopi, maka berikutnya bekerja dibagian produksi, lalu selanjutnya dibagian pengemasan, lalu bergerak dibidang penjualan/pemasaran, dan lain sebagainya. Sehingga para pekerja diharapkan bekermbang dan bergerak maju tidak sekedar menjadi pekerja kasar selamanya.
Sekilas alurnya adalah : pada awalnya para pekerja akan dilibatkan pada kantong produksi > Mempelajari proses pengolahan kopi di Pati > Kemudian belajar Marketing.
Sehingga dampak jangka panjang dari usaha ini sesungguhnya adalah untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dengan memanfaatkan potensi yang ada disekitar masyarakat. Sehingga output berupa produk kopi dan outcome berupa keuntungan menjadi urutan berikutnya atau bukan dampak usaha sebenarnya.
- Lakoat Kujawas
Lakoat Kujawas merupakan salah satu komunitas sosial yang bergerak dibanyak bidang khususnya untuk mengembangkan desa berbasis kearifan lokal dengan melibatkan masyarakat atau warga aktif disemua kalangan usia pada daerah disekitar Lakoat Kujawas bermukim. Lakoat Kujawas sendiri terletak di Desa Taiftob, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Komunitas ini didirikan oleh Kakak Dicky Senda dan beberapa temannya yang merupakan orang muda di Desa Taiftob yang memiliki kekhawatiran akan pengaruh negatif globaliasi pada desa mereka, dan dengan deimikian mereka juga punya mimpi yang sama untuk menyelamatkan desa dan generasi penerus mereka dari “bobroknya” kehidupan dunia modern.
Segala kegiatan di Lakoat Kujawas melibatkan seluruh warga aktif baik anak-anak, remaja, pemuda/i, orang tua baik kalangan Ibu Rumah Tangga maupun Kepala Rumah Tangga, para sepuh di Desa, pemerintah desa setempat, intitusi pendidikan, gereja atau organisasi keagamaan (karena di Mollo di dominasi oleh agama kristen dan khatolik maka yang berpatisipasi aktif adalah komunitas geraja), berbagai komunitas sosial di NTT, di Indonesia bahkan dari Manca negara, dan lain sebagainya. Prinsip mendasar yang dimiliki oleh Lakoat Kujawas adalah bekerja sama, berkolaborasi, melibatkan seluruh elemen masyarakat dan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di sekitar mereka. Lakoat Kujawas bahkan berusaha menghidupkan kembali budaya-budaya luhur yang hanyut oleh arus globalisasi. Lakoat Kujawas berusaha mengembangkan daerahnya dengan tidak memaksakan berbagai input dari luar, selayaknya daerah lain yang bermimpi dan memaksakan dirinya untuk maju seperti daerah lain namun dengan jalan yang sama (dampak negatif pemanfaatan teknologi dan pengembangan budaya modern yang kini seakan “mengikis” identitas bangsa).
Pengembangan desa berbasis kearifan lokal dengan melibatkan masyarakat merupakan ciri khas dari Lakoat Kujawas. Lakoat Kujawas bahkan tidak menutut masyarakat untuk menerima budaya luar. Anak-anak diajarkan untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri mereka sendiri. Contohnya anak-anak remaja yang bisa bermain gitar diajak untuk mengajarkan ketrampilannya dalam bermain gitar kepada teman-teman seusianya, atau adik-adik dibawahnya. Para pemuda yang memiliki kapasitas ilmu dalam bidang sains, sastra, sosial, organisasi, ketrampilan, kesenian dan lain sebagainya juga dapat mengajarkan kepada teman sebayanya atau yang lainnya. Di Lakoat Kujawas juga tidak menutup kesempatan kepada masyarakat untuk mempelajari kehidupan dunia modern, seperti penggunaan teknologi. Namun yang membedakan mereka dengan yang lain adalah pengenalan dunia modern khususnya teknologi juga diikuti oleh proses pendampingan sehingga tidak disalah gunakan oleh anak-anak. Contohnya di Lakoat Kujawas ada kelas menulis, ada kelas fotografi, kelas teater, kelas musik, dan lain sebagainya yang diajarkan kepada anak-anak.
Lakoat Kujawas juga menyediakan ruang bagi Ibu-Ibu untuk dapat mengembangkan dirinya dengan segala potensi yang ada disekitarnya. Contohnya, Ibu-Ibu yang bisa menenun bisa membuat kain tenun untuk dijual ke pasaran (salah satunya ke Moris Diak di Yogyakarta), akan tetapi sisi lainnya yang berbeda adalah Ibu-Ibu yang pandai menenun juga diberikan ruang untuk mewariskan ketrampilannya kepada anak-anak di Lakoat Kujawas dengan membuka kelas menenun yang para pengajarnya adalah para Ibu-Ibu di Desa tersebut. Sehingga aktivitas menenun tidak sebatas menjadi usaha untuk mencari keuntungan materil semata tetapi juga untuk berbagi ilmu demi kelangsungan masyarakat yang berbudaya dan berkelanjutan. Sementara Ibu-Ibu yang pandai memasak, atau yang pandai bertani dan lain sebagainya juga diberikan ruang untuk mengembangkan diri dan mewariskan kemampuan mereka kepada anak-anak mereka. Begitupula dengan para Ayah yang memiliki kemampuan dalam hal apapun diberikan ruang untuk mewariskannya kepada generasi muda di Mollo. Sementara itu, para sepuh yang memiliki keunggulan dalam pengetahuan budaya atau adat istiadat diberikan ruang untuk membagikan pengetahuan mereka kepada anak-anak, yang kemudian dimasukan dalam kelas menulis, dan diarsipkan dalam bentuk buku yang beberapanya telah diterbitkan dan dapat dibeli diberbagai pasaran atau toko buku. Hasil penjualan buku-buku tersebut kemudian digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan atau event yang mereka selenggarakan di Desa mereka.
Komunitas ini juga melakukan berbagai usaha untuk membiayai segala kebutuhan mereka, contohnya adalah dengan ikut memasarkan beberapa produk yang berasal dari kebun atau rumah masyarakat Desa Taiftob seperti buah-buahan yang diolah menjadi selai, hasil kebun seperti jagung yang diolah menjadi jagung bose, cabe yang diolah menjadi sambal lu’at, biji kopi yang diolah menjadi kopi bubuk siap saji, kain tenun menjadi tas, serta madu yang diambil dengan cara istimewa dan lain sebagainya. Produk yang dipasarkan disini sebagaimana telah saya jabarkan sebelumnya dengan model kewirausahaan sosial yang sama, produk yang dipasarkan sesungguhnya tidak menjual barangnya secara langsung dengan harapan output berupa keuntungan materil. Produk yang dijual adalah nilai yang berada dibalik setiap produk tersebut.
Salah satu contohnya adalah madu, sebagaimana yang dietahui bahwa madu telah banyak dijual diberbagai pusat perbelanjaan atau warung-warung kecil dijalanan, tetapi madu yang dijual oleh Lakoat Kujawas adalah madu yang diambil dengan cara yang istimewa. Madu yang dijual tidak dapat dipanen sembarangan waktu (waktunya telah ditentukan dengan panduan kebudayaan Mollo, dan dipanen dua kali dalam setahun).
Cara pemanenan madu ini adalah dengan melantunkan berbagai puisi atau pantun khas Mollo (menggunakan bahasa dawan), yang ditujukan kepada Ratu Lebah (bisa dikatakan para petani madu mencoba merayu ratu lebah dengan pantun atau bahasa dawannya adalah natoni) agar Si Ratu Lebah tidak menggigit para petani madu pada saat proses panen dilakukan. Dan percaya atau tidak, hal itu benar-benar terjadi kawan (kalau nga percaya datang saja kesana, dan ikuti ritual panen madu di Mollo). Nahh, cerita dibalik sebotol madu tersebut yang kemudian coba dikemas dan dipasarkan dengan produk madu tersebut. Hal ini secara tidak langsung juga dilakukan untuk memperkenalkan kebudayaan Mollo, serta melestarikannya agar tida hanyut terbawa arus globaliasai. Singkat cerita, hampir seluruh produk Lakoat Kujawas memiliki kisah ajaibnya masing-masing. Untuk lebih lanjut silahkan cek facebook/instagram/blok atas nama Lakoat Kujawas.
Akhir cerita ada juga sekilas ilmu berharga yang dibagikan kepada para peserta sarasehan terkait strategi untuk mengembangkan social enterprise atau kewiusahaan sosial. Fondasi dasar yang harus dipahami terlebih dahulu adalah diri sendiri (Me). Tentang siapa aku sebenarnya ? Apa yang aku miliki, apa yang dapat aku lakukan, dan bagaimana caranya memulai? Selanjutnya adalah kamu (you), yakni mencari partner yang dapat diajak untuk bekerjsama. Apa yang dia miliki dan dapat dikolaborasikan. Aku & kamu kemudian menjadi kita, hingga kemudian berubah menjadi kita bersama. Dan apa yang dapat kita lakukan bersama.
“Fondasi dasarnya adalah jangan melakukan sesuatu sendirian, tapi ajaklah orang lain untuk berkolaborasi” karena sendiri itu bisa, tapi berdua, bertiga, berbanyak itu lebih baik.
Setelah fondasi dasar, terdappat 3 prinsip utama yang harus kita pegang dalam melakukan suatu aktivitas kewirausahaan sosial yaitu :
- People > Memperhatikan dampak dari aktivitas yang kita lakukan terhadap orang lain.
- Planet > Memperhatikan keberlangsungan lingkungan (dalam artian tidak merusak lingkungan )
- Profit > Keuntungan adalah hal terakhir setelah kita dapat mengatasi dampak kegiatan kita kepada orang lain atau orang-orang disekeliling kita maupun lingkungan tempat berlangsungnya kehidupan (ekologi)
Setelah semua itu, jangan lupa untuk senantiasa berjejaring. Membangun komunikasi dan jaringan dengan berbagai kalangan akan sangat penting dalam proses pengembangaan kewirausahaan sosial. Dalam segala aktivitas yang dilakukan juga memerlukan riset terlebih dahulu. Membaca peluang, potensi, tantangan, hambatan, dan lain sebagainya sangat penting untuk dilakukan.
Poin penting yang saya rangkum dari sarasehan ini adalah
“ jangan menungguu orang lain untuk bergerak, mulailah dari sendiri, dengan apapun yang kita miliki, memanfaatkan seluruh peluang dan potensi yang kita miliki”
Tidak perlu menuntut bahwa kita, teman-teman kita, desa kita, pemerintah dan lain sebagainya harus sama persis seperti yang ada didaerah lain bahkan diluar negeri sekalipun”.
Tuhan telah menciptakan kita semua dengan potensi, keunikan, kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kita tak perlu menuntut untuk maju seperti Jepang dan China dengan teknologinya, Eropa dengan keilmuwannya, Amerika dengan strategi politiknya.
Percayalah bahwa kita bisa maju dengan kekayaan kita senidri, kelebihan kita sendiri, seperti kekayaan budaya, surga ekologi dijambul khatulistiwa”.
Dan yang terakhir adalah bahwa “kesuksesan adalah bukan tentang apa yang kita peroleh hari ini, tetapi tentang berapa kali kita terjatuh namun kemudian berapa kali kita kembali bangkit berdiri untuk memulai lagi”.
Ah ya, dan juga tentang pengabdian, tentang kebermanfaatan bagi orang lain, tentang cinta dan keihklasan yang murni tanpa menuntut balasan apapun. Maka percayalah, balasan itu akan datang pada waktu yang tepat dengan caranya sendiri.
Manisnya pembalasan itu bahkan akan membuat mu melupakan seberapa pahitnya perjuangan sebelumnya. Percayalah bahwa Tuhan dan Semesta senantiasa menyertai orang-orang yang ikhlas dan tulus dalam memberikan cinta kepada sesamanya tanpa menuntut balasan apapun. Sekian
^_^ ^_^ ^_^
the attachments to this post: