Archive for Juli, 2021

Review Jurnal “Policing cyber-neighbourhoods: tension monitoring and social media networks”

Selasa, Juli 6th, 2021

Menjaga Ketertiban Lingkungan Dunia Maya :

Pemantauan Ketegangan di Jaringan Media Sosial

(Policing cyber-neighborhoods: tension monitoring and social media
networks)

oleh

Matthew L. Williams*, Adam Edwards, William Housley, Peter Burnapb,
Omer Rana, Nick Avisb, Jeffrey Morgana, and Luke Sloan

 

Sistem penggunaan paltform media sosial seperti facebook, twitter, dan youtube memiliki perkembangan yang sangat cepat dan menciptakan suatu cara yang baru untuk berinteraksi dan berbagai suatu informasi. Perkembangan media sosial ini tentunya memiliki manfaat yang cukup baik namun juga memiliki resiko negatif bagi penggunanya. Selain itu, perkembangan media sosial ini juga ternyata menjadi sebuah tantangan yang baru bagi pihak-piha yang bertanggungjawab untuk menjaga keamanan publik. Seorang Jaksa Senior di Indonesia menyatakan bahwa baru-baru ini Inggris dan Wales menyatakan sebuah pernyataan bahwa perkembangan media sosial menciptkan isu-isu dengan type atau model yang berbeda sehingga menyulitkan pihak keamanan seperti kepolisian, jaksa, pengadilan dan lembaga pelayanan keamanan lainnya. Perilaku kejahatan yang memanfaatkan jaringan medi sosial kini menjadi perhatian khusus bagi pihak kepolisian. Hal ini juga ditemui pada kasus yang terjadi pada tahun 2011 yang melibatkan agenda politik dan berakibat pada demonstrasi dan kerusuhan.  Melihat kondisi ini, pemerintah menyerukan adanya suatu kebijakan ekspansi untuk memasukan kata “dunia maya” dalam bidang kepolisian sebagai jalan mengantisipasi terjadinya gangguan publik dimasa depan. Sistem kerja kepolisian pada umumnya belum cukup maju dan masih mengandalkan sistem kerja yang cukup tertinggal atau kuno yang bergantung pada intelijen lingkungan, pengawasan, kepolisian dan lain sebagainya dan semua ini semakin diperparah dengan adanya perkembangan jaringan pada dunia maya.

Kasus yang terjadi pada tahun 2011 dan diabadikan oleh media dari Indonesia menunjukan bahwa dalam mengatasi masalah kerusahan di kota-kota besar Inggris, pihak kepolisian kurang  memanfaatkan potensi media sosial dengan baik. Untuk mengetahui sumber isu atau masalah yang beredar dengan sangat canggih maka diperlukan adanya pembuatan alat komputasi yang dirancang khusus untuk mendeteksi berbagai isu tersebut, di mana penggunaan alat ini juga perlu di uji coba terlebih dahulu untuk memastikan bahwa pihak kepolisian dan informan kunci lainnya mampu memahami sistem kerja dari alat tersebut. Penelitian ini akan menguraikan tentang perkembangan komponen “ software pemantauan  media sosial” atau yang disebut dengan Cardiff Of Social Media ObServatory (COSMOS). 1 mesin akan memberikan kesempatan kepada penggunan untuk melakukan monitor terhadap aliran data media sosial yang berkaitan dengan adanya tanda-tanda kemunculan ketegangan tinggi di media sosial yang dapat dianalisis untuk mengidentifikasi adanya kasus penyimpangan dari norma-norma yang berlaku.

Para peneliti sosial mengungkapkan bahwa jaringan media sosial dan data para pengguna dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk berbagai kepentingan. Salah satunya adalah untuk kepentingan politik. Contoh kasusunya adalah yang terjadi di Jerman, di mana para oknum menggunakan data pengguna twitter untuk melakukan survei atau pengambilan jajakpendapat yang disebut dengan sistem pemungutan suara tradisional. Selain itu contoh kasusu lainnya adalah penggunaan data untuk mengambil pendapat tentang fim dengan tingkat pendapatan tertentu. Bahkan dalam beberapa kasus, beberapa oknum menilai bahwa metode ini merupakan salah satu cara yang paling akurat bahkan jauh lebih baik daripada Bursa Pasar Hollywood. Diluar jaringan sosial, Ginsberg dkk (2009) berhasil melaukan korelasi untuk menemukan beberapa respon dari mesin pencarian google tentang suatu jenis flu untuk melacak penyebaran penyakit di seluruh Amerika Serikat. Selain itu, kerusuhan sipil yang terjadi pada bulan Agustus tahun 2011 disebagain besar kota besar Inggris memmberikan suatu gambaran penting mengenai mekanisme dan kekuatan media sosial untuk menyebarkan suatu rumor yang kemudian memancing terjadinya kerusuhan dan melibatkan beberapa intelijen. Penggunaan media sosial dapat memberikan presepsi, pendapat, tindakan dan perasaan serta ketegangan yang dapat diungkapkan oleh seorang individu terhadap lingkungan disekitarnya.

Perkembangan media sosial juga tidak hanya berkaita dengan adanya peluang untuk menilai kondisi suatu komunitas, melainkan dapat memberikan pengaruh yang lebih besar. Media sosial dapat memeberikan ruang kepada orang-orang yang terbelenggu, memberikan ruang kepada kaum minoritas untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pihak mayoritas, memberikan ruang kepada orang-orang yang teraniyaya untuk memperoleh hak yang mutlak. Penelitian ini tidak difokuskan untuk membahas berbagai argumen tentang media sosial. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan sebuah ilustrasi atau gambara singkat mengenai pentignya menggunakan media sosial, khususnya bagi para pemangku kebijakan dan pihak-pihak yang terlibat dalam urusan pengamanan publik. Hasil analisis menunjukan bahwa sumber adanya ketagangan akan suatu isu berasal dari sebuah ruang media sosial yang sering dikunjungi oleh para pejabat, warga sipil dan berbagai tokoh perwakilan masyarakat. Pada umumnya masalah berawal dari adanya fenomena “egois” dan enggan menerima pendapat orang lain yang kemudian menciptakan suatu perdebatan. Fokus penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana kontriibusi yang diberikan oleh pihak-pihak pengamat media sosial yang bertugas untuk melakukan analisis terkait komunikasi di media sosial. Selanjutnya, data yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat untuk digunakan sebagai referensi dalam melakukan pemantauan terhadap berbagai jenis ketegangan yang terjadi di media sosial. Harapannya penelitian ini dapat difasilitasi sebagai sebuah usaha sinoptik untuk menganalisis tantangan bagi para pemangku kepentingan dan sebagai referensi dalam jalan pengambilan keputusan. Pada akhirnya penelitian ini juga akan membangun suatu konstruksi pemikiran terkait bagaimana pemahaman ita dapat bergerak maju untuk mengetahui dan memanfaatkan media sosial untuk mengantisipasi terjadinya konflik dalam kehidupan sosial kita sehari-hari.

Berdasarkan hasil penelitian ini dietahui bahwa menurut The HMIC (2011a), melalui Laporan The Rules of Engagent memberikan sorotan dan anjuran perlu adanya sistem pemantauan media sosial yang dapat meningkatkan keterlibatan pihak keamanan dan intelijen yang bertanggungjawab terhadap keamanan publik. Sistem ini akan membantu polisi untuk memahami lingkungan operasi online dan offline atau multisitus mereka. Akan tetapi, sebagaimana yang telah digaribawahi dalam makalah ini bahwa pihak yang bertanggungjawab untuk memantau kemungkinan adanya tegangan di media sosial, akan memperoleh suatu tantangan yang baru. Tantangan yang akan diterima ini dapat berupa usaha yang ektra untuk mengumpulkan data pengguna media sosial serta harus dapat mengatasi kesulitan yang berkaitan dengan penafsiran data atau konten yang ditemukan. Perlu adanya sebuah sistem yang dapat menganalisis konten yang mengandung sentimen. Selain itu, perlu diingat bahwa adopsi atau penggunaan teknologi semacam ini untuk mengantisipasi adanya berbagai gangguan yang bersumber dari ketegangan media sosial tanpa melakukan penyelidikan ilmiah tentunya membutuhkan kemampuan adapatasi dan interpretasi yang hebat. Hasil analisis makalah ini merupakan salah satu langkah dalam proses ilmiah tersebut.

Alternatif lainnya adalah melakukan adaptasi terhadap penggunaan teknologi yang berbasis bahasa yang dianjurkan oleh Sacks (1992) dan Housley & Ftzgerald (2002) yang disampaikan melalui proses Collaborative Algorithm Design. Sistem ini akan mengatur sebuah kerjasama antara ilmuwan sosial dengan para ilmuwan komputer untuk merancang sebuah sistem pemantauan tingkat ketegangan yang berkiatan dengan isu sosial di berbagai media sosial. Selain itu sistem juga perlu bekerjasama dengan pihak kepolisian khususnya untuk penanganan masalah sosial memiliki tingkat ketegangan cukup tinggi. Setelah dibandingkan dengan alat analisis sentimen, diketahui bahwa mesin atau sistem pemantauan ketegangan media sosial dinilai memberikan hasil yang lebih akurat dan cukup efektif. Selain dari berbagai kelebihan yang telah diuraikan, penelitian ini juga memberikan infromasi terkait beberapa kekurangan yang perlu untuk digaris bawahi dan menjadi perhatian pihak-pihak yang terlibat dalam operasi sistem ini. Salah satu contohnya adalah polisi yang digunakan sebagai salah satu sampel untuk menguji alat aau sistem pemantauan ketegangan sosial yang telah dirancang. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan kepolisian dalam menginterpretasikan sebuah kata “tacit” yang berkaitan dengan ketegangan sosial. Tentunya terdapat peredaan hasil interpretasi pada lingkungan online dan dilingkungan offline.

Sistem penyempurnaan lebih lanjut perlu dilakukan dengan melibatkan  sampling pada kelompok sosial tertentu yang secara diam-diam mengetahui suatu hal yang berkaitan dengan adanya masalah kerusuhan sipil pun juga dengan pihak yang terlibat secara langsung dalam insisden tertentu. Selanjutnya korps data ini hanya berkaitan dengan satu jenis acara olahraga dengan tingkat ketegangan rasial yang terkait. Selain itu mesin deteksi ketegangan ini juga masih harus tetap memberikan hasil yang posituf terkait hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa sejenisi protes politik, aksi industri, dan lain sebagainya. Akhirnya, secara fundamental sistem ini mungkin akan memberikan hasil yang bertolak belakang atau gambaran antara suatu ekspresi yang dilakukan secara online maupun yang akan dilakukan secara offline. Hal ini belum dapat dipahami dengan baik dan mungkin membutuhkan penyelidikan lebih lanjut untuk menganalisis kinerja dan hasil yang diperoleh dari penggunaan teknologi tersebut sebagai salah satu jalan untuk melakukan penilaian dan pemantauan terhadap suatu isu kerusuhan.

 

Reference :

Williams, Matthew L, Edwards Adam., Housley, William., Burnapb, Peter.,
Rana, Omer., Avis, Nick, Morgana, Jeffrey., and Sloan, Luke. (2013). Policing cyber-neighborhoods: tension monitoring and social media networks. Journal of Policing & Society, Vol. 23, No. 4, 461481

note : Mohon maaf untuk kesalahan terjemahan, mohon koreksinya 🙂

Terima kasih

Review Jurnal “Digital policing technologies and democratic policing: Will the internet, social media and mobile phone enhance police accountability and police–citizen relations in Nigeria?”_Temitayo Isaac Odeyemi &A. Sat Obiyan

Selasa, Juli 6th, 2021

Teknologi Perpolisian Digital dan Sistem Keamaan Polisi yang Demokratis :

 Akankah Internet, Media Sosial, dan HP Seluler Meningkatkan  Akuntabilitas Kepolisisian serta Hubungan Polisi dan Warga Nigeria ?

(Digital policing technologies and democratic policing: Will the internet, social media, and mobile phone enhance police accountability and police-citizen relations in Nigeria?)

Saat ini, sistem pemerintahan internasional memiliki peran penting dalam menjamin keamaan masyarakat dunia baik yang berkaitan dengan kehidupannya meliputi keamanan dan kesejahteraan maupun yang berkaitan dengan harta benda dan properti. Peranan pemerintah ini dapat diwujudkan melalui pembuatan kebijakan serta pembentukan berbagai badan keamanan seperti kepolisian, militer, intelijen,berbagai badan eksekutif maupun legislatif serta seluruh pihak yang berwenang untuk mejaga keamanan suatu daerah.  Sistem kemanan nasional disetiap negara perlu melibatkan berbagai pihak, baik lembaga keamanan formal maupun lembaga keamanaan non-formal, bekerja sama menciptakan keamanan dan kenyaman bagi seluruh warga masyarakat.

Secara umum, tujuan pembentukan badan kepolisian adalah untuk menjaga kemanaan dan ketertiban disuatu daerah, meskipun berada dibawah lembaga non-formal pemerintahan akan tetapi pada intinya kepolisian merupakan  salah satu bagian lembaga negara yang diakui oleh pemerintah. Adapula berbagai lemabaga swasta yang membentuk bada keamanan khusus untuk kepentingan tertentu akan tetapi terlepas dari seluruh kebijakan yang ada, badan kepolisisan adalah aparat keamaan dan ketertiban yang memiliki peran sentral dam mengontrol keamanan kehidupan masyarakat. Tugas dan fungsi kepolisian sendiri pertama kali diambil dari undang-undang dan arahan kerja yang dibuat oleh Sir Robert Pill yang mendirikan lembaga kepolisian modern pertama kali Inggris pada tahun 1829. Pembuatan lembaga kepolisian ini memiliki 8 prinsip dasar yang harus dipegang sebagai dasar dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga keamanaan yaitu :

  1. Badan kepolisian dibentuk untuk mengatasi masalah kejahatan
  2. Badan kepolisian dibentuk untuk mencegah serta mengatasi berbagai gangguan yang berkaitan tindakan kejahatan.
  3. Badan kepolisian harus mencegah terjadinya kejahatan melalui tindak atau deteksi tindak kejahatan.
  4. Dalam melakukan tugasnya, badan kepolisian perlu bekerja sama dengan pihak publik serta memperoleh izin dari pihak publik dalam hal ini pemerintah dan atasan yang berwenang.
  5. Badan kepolisian harus dapat menjadi contoh dan tauladan dalam berperilaku khususnya patuh terhadap hukum.
  6. Dalam melakukan tugasnya badan kepolisian harus memanfaatkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.
  7. Pelaksaan tugas dan tanggungjawab harus didasarkan pada semangat yang kuat untuk menjaga kemananan.
  8. Pelaksaan tugas kepolisian harus didasarkan pada tindakan dan komitmen untuk saling menghargai satu sama lain.

Beberapa prinsip dasar yang dicetuskan ini secara tidak langsung memberikan gambaran terkait sistem kemanan badan kepolisian yang bersifat demokratis. Secara umum, sistem kemanaan kepolisian yang bersifat demokrasi memiliki harapan yang besar agar masyarakat dan badan kepolisian dapat bekerjasama dalam menjaga kemaanan serta mengedalikan tindakan kejahatan. Selain itu sistem ini juga memberikan penegasan kepada badan kepolisian agar senantiasa sadar akan tugas dan tanggungjawabnya dalam melindungi masyarakat, begitupula dengan masyarakat sendiri yang perlu disadarkan untuk ikut berpartisipasi aktif serta bekerja dengan piha kepolisian dalam mengatasi masalah kejahatan pada suatu daerah tertentu.

Berbicara tentang negara Nigeria, telah diketahui bersama bahwa badan kepolisian Nigeria adalah salah satu bagian atau lembaga negara yang memiliki jasa cukup besar dalam sejarah panjang pendirian dan pembangunan negara Nigeria. Badan Kepolisian di Nigeria sendiri merupakan lembaga negara yang terbesar dengan anggota serta karywan kepolisian sejumlah 400.000 orang. Akan tetapi dalam beberapa penelitian terakhir menunjukan bahwa badan kepolisian Nigeria tengah menghadapi berbagai masalah kesenjanngan yang berkaitan dengan kualitas pelayanan kepolisian serta diperparah pula dengan besarnya tantangan untuk menjamin keamanan di Nigeria.

Pembaharuan sistem pemerintahan Nigeria pada tahun 1999 kembali memberikan pencerahan kepada badan kepolisian untuk kembali menunjukan eksistensinya serta kualitas dan pelayanan tugas mereka yang bertanggungjawab untuk kepentingan masyarakat umum. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, masalah ketidakpercayaan kembali merasuki kedua bela pihak, baik pihak kepolisian maupun pihak masyarakat. Hal ini berawal dari model pelayanan badan kepolisian terhadap masyarakat. Masalah birokrasi dan struktur badan kepolisian yang cukup ruwet memberikan dampak negatif terhadap hubungan antara badan kepolisian dan masyarakat sehingga tercipta jarak atau kesenjangan yang besar antara kedua belahpihak. Fenomena ini dapat memberikan gambaran sementara bahwa perkembangan kebijakan negara semakin mempersulit badan kepolisian untuk menjadi lembaga negara yang demokratis.

Berbagai kebijakan yang ditetapkan untuk mengatasi masalah penyalahgunaan kekuasaan badan kepolisian , seperti dengan melaporkan tindakan polisi junior kepada polisi senior dianggap tidak cukup efektif untuk meningkatkan kualitas badan kepolisian. Masalah ini kemudian menjadi salah satu faktor pemicu adanya usaha atau strategi yang dilakukan oleh atasan kepolisian melalui pemnafaatn teknologi untuk mengawasi kinerja bawannya. Sistem dan teknologi yang pertama kali diluncukran oleh badan kepolisian untuk meningkatkan kualitas pelayanannya adalah dengan membentuk Unit Tanggap Masalah dan kemudian berganti nama menjadi Unit  Cepat Tanggap Pengaduan Publik atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah Public Complaints Rapid Response Unit (PCRRU). Sistem PCRRU sendiri memiliki nomor telpon khusus yang bertugas menerima panggilan real-time, juga menerima pesan singkat (SMS), serta siap menerima pengaduan melalui media sosial seperti twitter, facebook, WhatsApp,Blackberry Messengger, dan aplikasi telpon seluler lainnya. Menurut kepala Unit Cepat Tanggap Kepolisian Nigeria, pencetusan inovasi ini membuka peluang bagi masyarakat publik agar dengan cepat dapat terhubung dengan pejabat tinggi kepolisian sehingga mencegah adanya masalah yang ditimbulkan oleh oknum-oknum kepolisian yang tidak bertanggungjawab. Selain itu, inovasi ini juga dibuat sebagai platform komunikasi dan tujuan keamanan.

Tujuan utama dari pembuatan penelitian ini ialah untuk mengetahui efektivitas pemanfaatan teknologi dalam meningkatkan kualitas pelayanan badan kepolisian Nigeria kepada warga setempat. Selain itu artikel ini juga akan melihat bagaimana dampa pemanfaatan teknologi terahap upaya peningkatan hubungan baik antara masyarakat dan kepolisian untuk saling bekerjasama menciptakan keamanan di Nigeria. Adapula secara teoritis, artikel ini juga mengkaji hubungan antara kepolisian dan warga Nigeria, akuntabilitas badan kepolisian serta melihat bagaimana peranan teknologi dalam upaya penciptaan dampak yang positif sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh pihak terkait. Dalam penelitian lain juga menjelaskan bahwa inovasi ini dikeluarkan sebagai bentuk upaya badan kepolisian Nigeria untuk meningkatkan keamanan di Nigeria. Bagian pendahuluan dari penelitian ini secara umum menggunakan Input-Output Easton Nexus sebagai sistem analisis dan konstruksi teori dalam menjelaskan sistem kerja dari badan kepolisian Nigeria, hubungan polisi dan warga negara. Penelitian ini difokuskan untuk menilai penggunaan platform teknologi digital yang diwujudkan melalui program PCRRU atau Unit Cepat Tanggap Pengaduan Publik.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan perolehan data yang berasal dari hasil wawancara terhadap para pemangku kepentingan yang diambil secara purposif. Adapula beberapa kategori responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah anggota kepolisian, personil, cendekiwan kepolisian serta organisasi masyarakat sipil yang memiliki catatan pernah berhubungan dan memperoleh pelayanan dari pihak kepolisian serta terlibat dalam penggunaan inovasi tekonologi guna mencapai tujuan pemerintah. Pengambilan sampel responden tersebut didasarkan terhadap adanya hubungan antara pihak-pihak terkait dengan berbagai isu yang menyebabkan adanya hubungan antara pihak kepolisian dan pihak publik.

Empat kategori responden ini memungkinkan adanya perolehan opini yang lebih seimbang yang berasal dari pemikiran yang bersifat akademisi. Selain itu, penelitian ini juga melibatkan adanya pengalam secara langsung dilapangan serta keterlibatan dalam advokasi meningkatkan praktik kepolisian. Sementara itu, personil polisi dapat memberikan prespektif resmi yang berkaitan dengan manajemen kepolisian  dan penggunaan tekonologi digital dalam praktik-praktik kepolisian serta memberikan gambaran terkait hubungan kepolisian dan masyarakat publik. Responden yang berkaiatan dengan oraganisasi masyarkat sipil dapat memberikan gambaran terkait pengalaman mereka dalam proses hubungan langsung dengan pihak kepolisian serta pemanfaatan teknologi baru tersebut. Data terakhir yang diperoleh dari ahli teknologi informasi diharpakan dapat memberikan informasi terkait teknis penggunaan teknologi kepolisian tersebut serta dimenesi penggunaannya. Proses wawancara dilakukan dengan beberapa model wawancara yaitu melalui percakapan langsung, wawancara secara online serta melalui telpon.

Secara umum, hasil penenlitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap dampak pemanfaatan tekonologi yang bersifat saling menguntungkan antara pihak kepolisian dan pihak masyarakat publik serta murni untuk memciptakan sistem perpolisian yang demokratis. Akan tetapi pada kenyataanya di Nigeria sendiri adanya warisan kolonial dan sistem pemerintahan yang otoriter menjadi hambatan tersendiri dalam mewujudkan sistem yang demokratis. Berbagai tuduhan dilemparkan kepada pihak kepolisian akan rendahnya akuntabilitas polisis serta adanya hubungan negatif antara badan kepolisian dan warga negara Nigeria. Rendahnya tingkat kepercayaan antara kedua belahpihak baik kepolisian maupun warga sipil memberikan kontribusi tersendiri dalam kinerja badan kepolisian. Tantangan lain juga datang dari internal kepolisian yang berkaitan dengan ruwetnya sistem administrasi, rendahnya tingkat pengawasan, korupsi polisi, berbagai masalah etika, rendahnya pendanaan material, rendahnya kualitas sumberdaya manusia semakin memperburuk hubungan antara kepolisian dengan warga setempat begitupula dengan akuntabilitas kepolisian.

Peluang yang tercipta dari adanya pemanfaatan teknologi seharusnya dapat membantu mengurangi berbagai hambatan birokrasi serta memberikan area yang lebih luas dalam upaya perbaikan citra kepolisian dihadapan publik. Pemnafaatan tekonologi ini dapat memudahkan sistem pemantauan dan pengawasan terhadap kinerja badan kepolisian. Kesenjangan yang ditemui antara piha kepolisian dan warga sipil, akuntablitias kepolisian dapat diperbaiki melalui perlibatan masyarakat sipil terhadap berbagai praktik dunia kepolisian. Tekonologi yang dicetuskan juga dapat dimanfaatkan dengan biaya yang cukup murah sehingga memudahkan partispasi masyarakat sipil. Teknologi ini juga dapat berperan dalam upaya perubahan mindset masyarakat dalam melihat masalah yang terdapat pada lingkungan mereka serta dukungan meraka terhadap peran dan keberdaan pihak kepolisian. Sementara itu, salah satu dampak yang diharapkan dari pengunaan teknologi ini bagi pihak kepolisian juga sebagai upaya untuk melatih pihak kepolisian dalam memberikan kepedulian terhadap orang-orang yang berhak meperolehnya. Selain itu, pihak kepolisian diharpakan dapat memberikan penghormatan terhadap hak dan martabat masyarakat sebagia salah upaya pembangunan sistem kepolisian yang bersifat demokratis.

Secara instruktif, teknologi hanya merupakan sebuah alat yang sementara dapat dijadikan sebagai salah satu jalan untuk mengatasi suatu permaslahan. Sesungguhnya perbaikan sistem yang baik harus didasarkan pada kesadaran pribadi individu maupun pihak kepolisian secara umum untuk menciptkan suatu sistem yang benar-benar demokratis. Organisasi kepolisian juga harus berkomitmen dan bertkad besar untuk menjaga kemanan dan aset properti untuk mengurangi pandangan negatif terhadap badan kepolisian yang mengakibatkan adanya berbagai tekanan buruk pada pihak kepolisian. Selain itu pihak kepolisian juga harus dapat memanfaatkan teknologi dengan baik guna meningkatkan keamanan dilingkungan Nigeria.

 

Reference:

Odeyemi,T.I., Obiya,A Sat . (2018). Digital policing technologies and democratic policing: Will the internet, social media, and mobile phone enhance police accountability and police-citizen relations in Nigeria?.International Journal of Police Science & Management. XX(X)

 

Note : Mohon maaf sekiranya terjemahan saya kurang akurat. Terima kasih untuk pengertiannya 🙂

Review Novel “TALES OF HEARSAY”_Joseph Conrad

Selasa, Juli 6th, 2021

TALES OF HEARSAY

TALES OF HEARSAY_Joseph Conrad (Sumber Gambar : Amazon.com)

TALES OF HEARSAY_Joseph Conrad (Sumber Gambar: Amazon.com)

Tales of Hearsay adalah kumpulan cerita tentang kehidupan beberapa manusia yang bisa dikatakan sebagai pejuang kehidupan nyata. Isi buku ini terdiri dari beberapa cerita berbeda yang ditelaah oleh Joseph Conrad. Beberapa cerita dalam buku ini terjadi pada tahun yang berbeda, seperti Jiwa Pejuang (1917); Pangeran Romawi (1911); Kisah (1917); dan The Black Mate (1884) dan beberapa di antaranya pertama kali diterbitkan pada tahun 1925 oleh T. Fisher Unwin, terdiri dari 77 halaman. Cerita dengan jumlah halaman atau cerita terpanjang ditempati oleh The Black Mate.

Secara umum, buku ini menulis ulang beberapa cerita sekaligus yang dirangkum menjadi 1 jurnal. Kisah-kisah yang ditulis ulang Conrad dalam buku ini memiliki cerita yang berbeda, bahkan tahun kejadiannya pun berbeda. Namun, keempat cerita yang dirangkum dalam jurnal ini memiliki karakteristik yang sama. Tema dari cerita-cerita tersebut diambil dari pengalaman beberapa manusia yang secara sepintas bisa dikatakan sebagai pejuang sejati. Pejuang hidup yang hebat dan perkasa. Beberapa tokoh utama yang diceritakan dalam buku ini adalah beberapa manusia yang sebenarnya hanya hidup dalam wujud fisik, namun jiwa mereka seolah telah mati. Dari 4 cerita yang diceritakan dalam buku ini, menurut saya cerita yang paling menarik dan menyayat hati, dan sulit dibayangkan adalah cerita pertama The Warrior’s Soul dan Prince Roman. The Warrior’s Soul, yang menceritakan kehidupan seorang prajurit Rusia bernama Tommasov, yang dalam beberapa kondisi sering dipermalukan karena kehidupan cintanya tidak cukup langkah (gay) tetapi pada akhirnya menunjukkan identitasnya sebagai seorang yang murni, berhati murni dan sangat manusiawi. pejuang. Dia yang di ambang memilih untuk membalas budi kepada teman baik (dulu) dan kemudian secara paksa menjadi musuh di masa depan. Dia adalah De Castel, seorang perwira Prancis, yang pernah menyelamatkan seorang anak kecil bernama Tomasov yang kemudian dipaksa menjadi musuh sekaligus penyelamatnya di akhir hidupnya yang sangat tersiksa. Dikatakan bahwa selama perang antara Rusia dan Prancis, De Catel perwira Prancis ditemukan dikalahkan dan menjadi tawanan perang yang disiksa. Ini secara tidak sengaja ditemukan oleh Tomassov, yang kemudian datang sebagai tentara Rusia yang membebaskan De Castel dari penjara dan ditembak mati sebagai bentuk rasa terima kasih.

 

…………….

“I don’t suppose I had been entertaining those thoughts more than five

minutes when something induced me to look over my shoulder. I can’t think it

was a noise; the snow deadened all the sounds. Something it must have been,

some sort of signal reaching my consciousness. Anyway, I turned my head,

and there was the event approaching me, not that I knew it or had the slightest

premonition. All I saw in the distance were two figures approaching in the

moonlight. One of them was our Tomassov. The dark mass behind him which

moved across my sight were the horses which his orderly was leading away.

Tomassov was a very familiar appearance, in long boots, a tall figure ending in

a pointed hood. But by his side advanced another figure. I mistrusted my eyes

at first. It was amazing! It had a shining crested helmet on its head and was

muffled up in a white cloak. The cloak was not as white as snow. Nothing in

the world is. It was white more like mist, with an aspect that was ghostly and

martial to an extraordinary degree. It was as if Tomassov had got hold of the

God of War himself. I could see at once that he was leading this resplendent

vision by the arm. Then I saw that he was holding it up. While I stared and

stared, they crept on—for indeed they were creeping—and at last, they crept

into the light of our bivouac fire and passed beyond the log I was sitting on.

The blaze played on the helmet. It was extremely battered and the frost-bitten

face, full of sores, under it, was framed in bits of mangy fur. No God of War

this, but a French officer. The great white cuirassier’s cloak was torn, burnt full

of holes. His feet were wrapped up in old sheepskins over remnants of boots.

They looked monstrous and he tottered on them, sustained by Tomassov who

lowered him most carefully onto the log on which I sat.

“My amazement knew no bounds.

“‘You have brought in a prisoner,’ I said to Tomassov as if I could not

believe my eyes.

“You must understand that unless they surrendered in large bodies we made

no prisoners. What would have been the good? Our Cossacks either killed the

stragglers or else let them alone, just as it happened. It came really to the same

thing in the end.

“Tomassov turned to me with a very troubled look. (Chapter The Warrior’s Soul, page 14)

(Note, in that mass, the torture of war was so severe that death was something prisoners of war wanted so badly).

 

Sementara itu, Pangeran Roman menceritakan seorang pangeran muda yang kehilangan istri tercintanya. Kematian istrinya membuat pangeran Romawi begitu sedih sehingga ia menghabiskan hidupnya dalam pengasingan, sesekali bepergian ke hutan untuk berburu dan sampai pada suatu hari ia bertekad untuk pergi ke medan perang, menyamar sebagai anak petani bernama Peter, mencoba untuk memetik. sampai mati di medan perang tetapi kematian tidak pernah berakhir sampai suatu hari penyamarannya terbongkar karena pertemuannya dengan seorang teman dalam tahanan.

 

……….

“‘Listen, Master Francis,’ the Prince said familiarly and without

preliminaries. ‘Listen, old friend. I am going to vanish from here quietly. I go

where something louder than my grief and yet something with a voice very

likes it calls me. I confide in you alone. You will say what’s necessary when the

time comes.’ (Chapter Prince Roman, page 27)

 

Identitasnya sebagai seorang pangeran membuat hukumannya semakin buruk. Ia divonis mati namun maut enggan menjemputnya hingga akhirnya berkat latar belakang keluarga dan koneksinya, ia dibebaskan dan mengabdi pada keluarga kerajaan. Suatu ketika indera pendengarannya terganggu (tuli) dan akhirnya ia diperbolehkan pulang ke kampung halamannya. Di sana, ia hidup sebagai orang biasa, hidup sederhana di sebuah gubuk kecil, berusaha mengabdikan dirinya untuk masyarakat dan membantu setiap tawanan perang yang kembali ke kampung halamannya untuk mencari tempat tinggal dan bekerja. Dia adalah seorang pangeran Romawi yang secara fisik hidup, tetapi jiwanya telah mati terkubur bersama tubuh istrinya di lemari besi kerajaan.

 

References:

Conrad, Joseph. (1925). Tales of Hearsay. T. Fisher Unwin. London

Review Novel “The End of Tether”_Joseph Conrad

Selasa, Juli 6th, 2021

The End of Tether

The End of Tether_Joseph Conrad (Sumber Gambar : pdfbooksworld.com)

The End of Tether_Joseph Conrad (Sumber Gambar : pdfbooksworld.com)

The End of Tether adalah salah satu dari banyak karya yang ditulis oleh Joseph Conrad.
Buku ini ditulis pada tahun 1902 dan diterbitkan oleh William Blackwood dalam koleksi Youth,
A Narrative and Two Other Stories (Jhonson, 2013).
Khusus untuk bagian The End of Tether memiliki jumlah halaman inti sebanyak 113 halaman.
Buku ini diprediksi ditulis berdasarkan pengalaman Conrad sebagai seorang pelaut yang mengenal laut
dengan baik dan segala aktivitas di permukaannya. Secara umum, buku ini menceritakan tentang seorang pelaut hebat bernama Henry Whalley
yang mengalami banyak masalah akibat salah urus keuangannya. Whalley menikahkan putri
satu-satunya dengan seorang pria yang diharapkan Whalley akan menjadi suami yang sempurna
sampai sebuah berita sedih datang kepada Whalley bahwa suami dari putrinya Ivy lumpuh dan
harus duduk di kursi roda. Whalley kemudian berpikir untuk meninggalkan semua tabungan
kekayaannya di bank kepada putrinya Ivy, tetapi karena kesalahan besar, semua harapan
kekayaannya di bank kemudian hilang dalam sekejap. Whalley kemudian menjual semua miliknya, terutama kapalnya, lalu mengirimkan sebagian
uangnya kepada putrinya, yang ia pinjam suatu hari setelah kehabisan uang.
Whalley yang malang kemudian bertemu seseorang yang memberi tahu dia bahwa Kapal Savala
membutuhkan seorang kapten. Singkat cerita, Whalley menjadi kapten kembali di Savala dan
bertemu dengan Massy yang setiap hari bertarung dengannya hingga akhirnya menipunya dan
mengambil semua sisa uang yang dimilikinya dan juga Sterne yang selalu berusaha menyingkirkan
Whalley dalam segala kondisi. Meskipun demikian, sepanjang hidupnya, Whalley cukup beruntung
untuk bertemu dengan seorang teman bernama Van Wick yang dengan tulus membantunya bahkan
sampai putrinya membacakan perpisahan terakhirnya.

……

“My dearest child,” it said, “I am writing this while I am able yet to write

legibly. I am trying hard to save for you all the money that is left; I have only

kept it to serve you better. It is yours. It shall not be lost: it shall not be

touched. There are five hundred pounds. Of what I have earned I have kept

nothing back till now. For the future, if I live, I must keep back some a little to

bring me to you. I must come to you. I must see you once more.

“It is hard to believe that you will ever look on these lines. God seems to have

forgotten me. I want to see you and yet death would be a greater favor. If you

ever read these words, I charge you to begin by thanking a God merciful at

last, for I shall be dead then, and it will be well. My dear, I am at the end of

my tether.”

The next paragraph began with the words: “My sight is going . . .”

She read no more that day. The hand holding up the paper to her eyes fell

slowly, and her slender figure in a plain black dress walked rigidly to the

window. Her eyes were dry: no cry of sorrow or whisper of thanks went up to

heaven from her lips. Life had been too hard, for all the efforts of his love. It

had silenced her emotions. But for the first time in all these years its sting had

departed, the carking care of poverty, the meanness of a hard struggle for

bread. Even the image of her husband and her children seemed to glide

away from her into the gray twilight; it was her father’s face alone that she

saw, as though he had come to see her, always quiet and big, as she had seen

him last, but with something more august and tender in his aspect.

She slipped his folded letter between the two buttons of her plain black bodice

and leaning her forehead against a window-pane remained there till dusk,

perfectly motionless, giving him all the time she could spare. Gone! Was it

possible? My God was it possible! The blow had come softened by the spaces

of the earth, by the years of absence. There had been whole days when she had

not thought of him at all had no time. But she had loved him, she felt she had

loved him, after all.

 

End of Tether adalah salah satu buku terbaik yang pernah saya baca dengan alur cerita yang benar-benar luar biasa. Awal penceritaan, awal konflik hingga puncak konflik diceritakan dalam alur yang sangat jelas. Isu-isu yang dibahas dalam buku ini umumnya berkaitan dengan kehidupan keluarga, pekerjaan dan terutama literatur keuangan. Buku ini secara tidak langsung menjelaskan dalam beberapa bagian tentang investasi. Saat ini, di era teknologi yang sangat canggih ini, dibutuhkan kecerdasan finansial. Kita perlu memiliki pemahaman yang baik sebelum berinvestasi tidak hanya dalam hal keuangan tetapi juga berinvestasi dalam jaringan pertemanan.

……………
His age sat lightly enough on him, and of his ruin, he was not ashamed. He had
not been alone to believe in the stability of the Banking Corporation. Men
whose judgment in matters of finance was as expert as his seamanship had
commended his investments’ prudence and had themselves lost much
money in the great failure. The only difference between him and them was that
he had lost his all. And yet not his all. There had remained to him from his lost
fortune a very pretty little bark, Fair Maid, which he had bought to occupy his
leisure of a retired sailor “to play with,” as he expressed it himself.
(chapter II, page 4)
“Oh yes! It was a miserable end,” Mr. Van Wyk said, with so much fervor that
the lawyer looked up at him curiously; and afterward, after parting with him,
he remarked to an acquaintance
“Queer person that Dutch tobacco-planter from Batu Beru. Know anything of
him?”
“Heaps of money,” answered the bank manager. “I hear he’s going home by the
next mail to form a company to take over his estates. Another tobacco district
was thrown open. He’s wise, I think. These good times won’t last forever.”
Captain Whalley’s daughter had no presentiment
of evil in the southern hemisphere when she opened the envelope addressed to her in the lawyer’s
handwriting. She had received it in the afternoon; all the boarders had gone
out, her boys were at school, her husband sat upstairs in his big armchair with
a book, thin-faced, wrapped up in rugs to the waist. The house was still, and
the grayness of a cloudy day lay against the panes of three lofty windows.
In a shabby dining-room, where a faint cold smell of dishes lingered all the
year-round, sitting at the end of a long table surrounded by many chairs
pushed in with their backs close against the edge of the perpetually plaid tablecloth,
she read the opening sentence: “Most profound regret painful duty your
father is no more by his instructions fatal casualty consolation
no blame attached to his memory. . . .”
Her face was thin, her temples a little sunk under the smooth bands of black
hair, her lips remained resolutely compressed, while her dark eyes grew larger,
till at last, with a low cry, she stood up, and instantly stooped to pick up
another envelope which had slipped off her knees on (Chapter XII, page 111)

References:
Conrad, Joseph. 1902. The End of Tether in Youth, A Narrative and Two Other
Stories. William Blackwood. London
Johnson. (2013). https://mantex.co.uk/the-end-of-the-tether/

Bompon_Jawa Tengah

Selasa, Juli 6th, 2021
Airan Sungai dari Air Terjun Cicurug_DAS BOMPON_Sumber : Dokumentasi Pribadi

Airan Sungai dari Air Terjun Cicurug_DAS BOMPON_Sumber : Dokumentasi Pribadi