Archive for the ‘OPINI’ Category

Saya Heran yang Memilih Jurusan Teknologi Pertanian Hanya 11 Orang

Jumat, September 7th, 2018

Saya heran yang daftar teknologi pertanian hanya 11 orang -_-

Mendengar cerita adik saya yang baru saja mendaftarkan diri sebagai salah satu mahasiswa teknologi pertanian di salah satu universitas ternama di kampung saya,  rasanya miris sekali.
Kata adek saya, 1 angkatan kemaren yang daftar ke jurusannya teknologi pertanian cuman 11 orang, baik itu gelombang I, II hingga gelombang ke-III (kebetulan dia ikut gelombang yang ketiga). Sementara itu, dibeberapa jurusan lainnya seperti pendidikan keguruan, olahraga, kesehatan, ekonomi, sosial politik, hukum dan beberapa jurusan lainnya tumpah ruah pendaftarnya.
Saking banyaknya yang daftar sampai di tolak sama universitas, khususnya pendidikan olahraga pendaftarnya sampai ribuan.
Sementara jurusan seperti teknologi pertanian, budidiya pertanian, teknologi perikanan, teknologi pertanian adalah jurusan yang paling sedikit pendaftarnya. Bayangin ajah, dari 3 gelombang, dari ribuan lulusan SMA yang daftar 1 angkatan cuman 11 orang. Hahahaha
Seriusan pengen ketawa tapi takut dosa, pengen nangis tapi yoo gimana gitu 😀
Terlepas dari itu, saya heran kenapa minatnya muda-mudi di sana cenderung hanya ke beberapa jurusan tersebut. Bahkan bisa dibilang sektor pertanian adalah sektor atau bidang yang paling dihindari oleh muda-mudi di kampung saya.
Dari sekian banyak jurusan, yang paling banyak peminatnya adalah jurusan pendidikan yang kemudian akan mencetak generasi guru muda yang tumpah ruah. Tapi yang saya herankan, puluhan tahun, jutaan sarjana pendidikan yang telah diluluskan entah kemana semuanya, sehingga sampai saat ini kondisi pendidikan di kampung saya masih cukup memprihatinkan.
Masih banyak sekali sekolah yang kekurangan guru. Kualitas pendidikannya juga masih sangat jauh dari standar nasional. Bidang olahraga yang paling tinggi peminatnya juga sejauh ini belum bisa menghasilkan atlit-atlit yang berkwalitas.
Saya ingat betul pelajaran olahraga yang saya peroleh ketika duduk di bangku pendidikan.
Dari sekian banyak jam pelajaran olahraga, rasa-rasanya saya cuman diajarin olahraga 5-10 jam itupun cuman berkaitan dengan pelajaran pbb (peraturan baris-berbaris).
Aha,, ada juga nih yang bergerak dibidang kesehatan. Banyaakkk sekali anak di daerah saya yang mengambil jurusan dibidang kesehatan tapi sampai hari ini kualitas kesehatan masyarakat daerah saya maupun pelayanannya masih sangat rendah dibandingkan propinsi lainnya. Begitupula dengan ekonomi, kok yoo banyak sekali lulusan ekonomi tapi jumlah penduduk miskin di propinsi asal saya,  sejak tahun 2005 sampai tahun 2017 masih cenderung stabil bahkan masuk kedalam propinsi termiskin nomor 3 di Indonesia setelah Papua.

Propinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/07/24/provinsi-dengan-angka-kemiskinan-tertinggi-pada-maret-2018 )

Pada saat yang sama sektor pertanian mulai mengalami krisis sumberdaya manusia. Padahal, meskipun kondisi iklim di kampung saya tidak cukup bagus, but I think potensi pertaniaannya masih sangat bisa dikembangkan. Selain dari tu, bidang pertanian adalah satu sektor yang sampai kiamat menjemput duniapun akan tetap dibutuhkan, karena sampai kiamat pun orang masih tetap membutuhkan makanan (kecualia kalau pada jadi robot -_-). Ah yaa, satu lagi bidang peternakan pun sama. Bidang ini adalah satu bidang yang paling berpotensi. Bahkan beberapa tahun silam, kampung saya adalah salah satu daerah eksportis daging sapi terbesar ke di Indonesia. Untuk di kampus saya sendiri, bidang pertanian dan peternakan adalah salah satu bidang yang pesaing masuknya paling besar. Satu kursi di fakultas pertanian, teknologi pertanian, peternakan, perikanan harus diperebutkan oleh 5-10 orang.  Saya tidak bermaksud untuk menyinggung jurusan yang lain, I just want to say ayolahhh, ini udah jaman apa ? kalau kata kaka we nih ya, anak muda jaman sekarang kudu nyari jurusan yang kalau ngak jadi PNS juga bisa hidup.   Kalau temen-temen main ke Jawa, jurusan keguruan, perawat atau jurusan lain yang menjurus ke masa depan sebagai PNS sangat sedikit peminatnya.
Miris seriusan, bahkan nih yaa, kalau kamu ke Jawa dan kuliahnya bidang biologi, kimia, pertanian, peternakan, perikanan, teknik, pariwisata, dan beberapa jurusan lainnya selain guru dan perawat kamu bakalan dikecein abis-abisan sama orang-orang kampung, ntar dikatain mau jadi apa kamu kedepannya ? wkwkwk
Mungkin perlu kali yaa dibuatkan riset khusus untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi minat para lulusan SMA/SMK/MA dalam memilih jurusan di tingkat universitas. Hal tersebut kemudian bisa dijadikan sebagai referensi dalam pengambilan kebijakan. Ayolah, kedepannya kita harus membangun daerah kita menjadi daerah yang tidak tertinggal. Terlalu banyak jurusan yang kita butuhkan untuk membangun daerah. Kalau bukan para muda-mudi jaman ini yang akan mengisi bangku-bangku pekerjaan besar tersebut, maka kita kudu bersiap menjadi babu di daerah sendiri -_-

Tradisi Membunuh Ku

Sabtu, Januari 6th, 2018

Tradisi Membunuh Ku
(Tradisi Orang Timor)

Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu propinsi yang kaya akan suku, budaya, bahasa dan adat-istiadat. Suku Timor adalah satu dari ratusan suku yang terdapat di Propinsi NTT dengan nama suku sebenarnya adalah suku Dawan. Sebutan suku Timor sendiri muncul dari kebiasaan masyarakat pendatang yang menyebut orang-orang Dawan dengan sebutan orang Timor yang berarti orang yang mendiami pulau Timor. Secara umum, Pulau Timor terbagi atas dua bagian yaitu Pulau Timor bagian Timur  (Timor Timur) yang kini menjadi Negara Timor Leste dan Timor Barat yang terbentang dari Kota Atambua hingga wilayah paling barat yakni Desa Tablolong-Kupang Barat. Suku Dawan sendiri pada umumya mendiami Pulau Timor bagian Barat yang mana Timor Barat inipun terbagi lagi dalam berbagai kelompok masyarakat dengan jenis budaya yang sedikit berbeda. Pada umumnya cukup terkenal dengan beberapa kelompok masayarakat yakni Amanuban, Amanatun, Amafoang, Amarasi, Mollo, dan lain sebagainya. Menurut Folklor atau cerita rakyat, dahulu pembagian masyarakat ini berasal dari beberapa julukan yang diberikan kepada tokoh adat di daerah Timor Barat. Semoga dapat dibahas dalam kesempatan berikutnya.

Topik pembahasan kali ini saya ambil dari salah satu kelompok masyarakat diatas yakni masyarakat di daerah Amanuban. Adapula penulisan artikel ini murni sebagai opini pribadi dan tanggapan atas penyalahgunaan budaya yang “salah” oleh beberapa oknum dengan latar belakang sebagai orang Timor Amanuban. Kisah dalam tulisan ini juga murni merupakan pengalaman pribadi dengan tanpa berusaha mengeneralisir seluruh kalangan masayarakat Amanuban. Telah kita ketahui bersama bahwa kebudayaan merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak terkecuali dengan budaya orang Timor Amanuban. Kekayaan budaya ini sesungguhnya perlu dilestarikan agar tidak ikut larut dalam seleksi alam, dimana yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan lebur termakan oleh zaman. Namun berdasarkan pengalaman yang pernah saya alami, maka saya pikir akan lebih baik jika budaya masyarakat tradisional tersebut dihilangkan dan sebaiknya dikubur secara paksa agar dapat hilang dengan pembalasan yang memuaskan.

Kebudayaan yang dimilki oleh orang Timor Amanuban tentu sangat melimpah, dimulai dari kebudayaan untuk menyambut kelahiran seorang anak, prosesi kelahiran, kehidupan sehari-hari, pernikahan, rumah tangga hingga budaya-budaya yang perlu dilakukan dalam upacara kematian. Selain itu adapula kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat baik kepercayaan akan keberadaan Tuhan, pemanfaatan ilmu sihir dengan kepercayaan mistis, penyembahan benda-benda keramat, kepercayaan akan kuatnya pengaruh roh para leluhur dan lain sebagainya. Hal ini tentunya menarik untuk dikaji lebih lanjut dengan memperhatikan manfaat akan keberadaan budaya tersebut, namun kali ini saya akan memberikan sedikit opini yang berlandaskan pada pengalaman pribadi dengan melihat dari sudut pandang “korban” penyalahgunaan budaya seperti linta darat berbisa yang membunuh secara perlahan tanpa adanya pengampunan sedikitpun. Tak peduli siapa yang ia bunuh, siapa yang menjadi korbannya, seakan tertawa dengan keras sembari berkata “saya tak peduli, itu bukan urusan saya” meskipun dalam hal ini korban yang berjatuhan adalah saudaranya sendiri.

Fenomena ini berawal dari keberadaan budaya yang kami anut sekeluarga yakni budaya Timor Amanuban. Seperti yang telah disebutkan diatas akan banyakya peraturan budaya tak tertulis yang harus dijalankan oleh seseorang dengan latar belakang orang Timor yang tentunya tidak dapat dijabarkan satu per satu dalam tulisan ini. Saya hanya mencoba menyampaikan beberapa bagian yang menurut saya sangat penting untuk dikaji kembali oleh masyarakat setempat. Saya pikir kisah ini berawal dari sebuah cerita romantis akan pertemuan dua insan manusia yang saling mencintai dan berusaha untuk saling menjaga satu sama lain dengan cara yang lebih baik yakni melalui ikatan pernikahan dengan tanda lingkaran tak berhujung dijari manis keduanya. Namun agar dapat mengaitkan jari-jemarinya pada lingkaran tak berhujung itu membutuhkan cara dan proses yang cukup panjang. Kata salah seorang teman kala itu “akan jauh lebih baik jika saya menghamili si gadis agar dapat menikahinya dengan cara yang mudah”. Saya pikir kalimat ini mungkin menjadi salah satu faktor tingginya angka perkawinan usia muda di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Dan, ah ya kembali lagi kepada kisah dua insan yang akan mempersiapkan acara pernikahannya. Persiapan ini dapat dikatakan cukup lama mungkin berkisar dalam rentan waktu 2 hingga 3 tahun.

Persiapan yang dilakukan tentunya cukup banyak, baik dari persiapan finansial, fisik, alokasi waktu hingga yang terpenting adalah persiapan mental untuk menghadapi sejumlah tahapan yang perlu dilalui untuk dapat hidup bersama saling menjaga hingga ajal menjemput. Sejumlah persiapan itu tentunya cukup normal untuk kalangan masyarakat di Indonesia yang  masih cukup kuat dalam melestarikan budayanya, namun yang menjadi permasalahan disini adalah  kebudayaan Amanuban yang mewajibkan keberadaan Atoin Amaf   yang datang dari negeri antah berantah. Atoin Amaf  merupakan istilah yang diambil dari Bahasa Dawan yang berarti orang tua. Namun perlu diketahui bahwa orang tua atau Atoin Amaf yang dimaksud disini bukan ditujukan kepada orang tua kandung dari pasangan yang akan menikah, melainkan ditujukan kepada saudara laki-laki dari Ibu mempelai perempuan yang akan menikah atau dalam kalangan masyarakat umum sering disebut dengan istilah “Om atau Paman, Pak De, Pak Le” dan sejenisnya.

Dalam budaya Amanuban, ketika seorang wanita akan menikah maka Atoin Amaf  tersebut wajib hadir dalam acara pernikahannya (kasusnya akan berbeda apabila Ibu mempelai perempuan tidak memiliki saudara laki-laki). Keberadaan Om atau Atoin Amaf dalam prosesi pernikahan merupakan hal yang sangat vital karena selain sebagai salah satu anggota keluarga yang penting, Atoin Amaf juga memiliki peranan yang besar dalam menentukan besarnya maskawin atau belis (dalam bahasa dawan) yang harus dipenuhi oleh sang mempelai laki-laki agar dapat menikahi gadis pujaannya. Sampai detik tulisan ini diselesaikan, saya sendiri belum dapat memahami apa urgensi atau nilai yang dianut dalam budaya ini. “Mana mungkin seorang Atoin Amaf memiliki hak yang lebih besar untuk menentukan keberlangsungan pernikahan seorang anak perempuan dibandingkan orang tua kandungnya sendiri”. Disini saya pikir beberapa oknum telah menyalahkgunakan budaya Amanuban untuk kepentingan pribadi.

Kasus kali ini bermula dari persiapan pernikahan saudari perempuan saya. Terlalu banyak hal yang perlu ia persiapkan sendiri termasuk dengan memakmurkan dan memuliakan Atoin Amaf  yang harus hadir dalam acara pernikahannya. Perlu saya ingatkan kembali bahwa Atoin Amaf merupakan saudara laki-laki kandung dari Ibu mempelai perempuan. Sekali lagi jangan pernah lupakan kata-kata saudara kandung dalam memahami tulisan ini. Hal ini cukup saya tekankan karena saya pikir kedekatan keluarga dengan status seperti itu seharusnya dapat saling mendukung satu dengan yang lainnya bukan sebaliknya. Status seorang “Om” tentunya harus ikut berpartisipasi dalam mewujudkan kebahagiaan keponakannya seperti mimpinya mewujudkan kebahagiaan anak kandungnya sendiri. Sebelumnya telah saya paparkan bahwa Atoin Amaf  atau Om ini sebelumnya telah dimuliakan semaksimal mungkin oleh saudari perempuan saya.

Pemuliaan yang dimaksud dilakukan dengan berbagai cara, khususnya adalah dengan selalu memberikan bantuan finansial untuk beberapa keperluan Atoin Amaf tersebut tentunya dengan kata pengantar “jika engkau tak memiliki uang, maka tidak masalah namun tunggulah saatnya”. Kondisi ini tentunya tak dapat saya lupakan dengan status pekerjaan Atoin Amaf yang jauh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan saudari perempuan saya. Ah ya, perlu diketahui bahwa alamarhumah Ibu saya memiliki beberapa orang saudara laki-laki dan beberapa orang saudari perempuan dengan karakter yang cukup mirip. Apabila kesulitan menimpa mereka maka orang yang akan dihampiri adalah saudari perempuan saya tentunya dengan kata pengantar yang sama. Kata “saatnya” yang saya tuliskan sebelumnya, secara tersirat ditujukan kepada acara pernikahan yang akan dilalui oleh saudari perempuan saya dalam rentan waktu yang cukup dekat. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya ia pun selalu memenuhi permintaan sanak saudara almarhumah Ibu (semoga beliau tenang di alam sana dan tidak keberatan dengan tulisan ini).

Bumi terus beputar, detik per detik terus berlalu, satu per satu permintaan oknum-oknum berkedok budaya ini telah dipenuhi hingga tiba saatnya h-7 hari acara pernikahan akan dilangsungkan. Tak lupa bahwa acara pernikahan di kalangan masyarakat Timor dapat berlangsung selama 7 hari dengan 3 hari merupakan acara inti dan 4 hari lainnya merupakan acara persiapan seperti kumpul keluarga, persiapan barang-barang yang akan digunakan untuk menyambut mempelai laki-laki, penerimaan sumbangan atau manekat dari sanak saudara hingga yang terlama adalah pembuatan tenda besar yang mencakup dapur, ruang makan, gudang makanan, hingga yang terpenting adalah tempat resepsi pernikahan dengan kriteria yang entah akan saya paparkan dalam tulisan yang lain dan jika engkau tau, pesta di Timor dapat mengundang ratusan hingga ribuan orang.

Permainanpun dimulai pada waktu h-7 hari tersebut, ketika beberapa moment penting sangat membutuhkan keberadaan Atoin Amaf  namun yang terjadi adalah Atoin Amaf  tersebut harus dijemput dengan membawa berbagai “barang sesajian”. Pada tradisi yang sebenarnya hal ini tidak diperlukan namun dalam kasus ini sangat diperlukan,  barang sesajian ini hanya dibawa untuk sekedar memuja Atoin Amaf tersebut agar ia dapat hadir dalam beberapa momen yang berlangsung sebelum acara resepsi pernikahan. Barang sesajian yang dibawa dapat beraneka macam mulai dari sirih pinang, uang, emas, minuman keras, hewan ternak dan lain sebagainya. Dalam kasus ini kami hanya membawa sirih pinang, beberapa lembar rupiah dan beberapa botol minum keras berharap Atoin Amaf dan serumpun keluarga dari Ibu akan datang mmembantu persiapan acara pernikahan namun realitanya tak semudah ekspektasi yang dibayangkan. “Pemujaan” yang dilakukan ternyata tak cukup “mewah” dan tak cukup mampu menyentuh lubuk hati keluarga Ibu tercinta. Mirisnya hal ini tidak hanya dilakukan oleh keluarga almarhumah Ibu namun juga dilakukan oleh keluarga sekandung Ayah.

Sebelumnya perlu diketahui bahwa pesta pernikahan yang dilangsungkan ini merupakan pesta yang kami lakukan pertama kali sepanjang sejarah kehidupan. Saudari perempuan saya yang akan menikah ini merupakan anak pertama dari 7 orang bersaudara. Usia kakak pada saat itu menginjak 27 tahun, dan bisa dibayangkan sendiri berapa usia adik-adik dibawahnya yang tentunya belum cukup paham akan hal-hal yang berkaitan dengan acara kebudayaan seperti itu. Adapula Ayah merupakan orang yang enggan dan tidak peduli dengan keberadaan budaya tersebut dimana kondisi ini juga bermula dari kekecewaan beliau akan kejamnya kebudayaan yang dianut oleh leluhur kami. Bisakah anda membayangkan bagaimana kemapuan Kakak dalam menyiapkan urusan tersebut seorang diri ? Adapun keluarga dekat Ayah dan Ibu baru saja datang ketika h-1 hari acara akan berlangsung dengan suatu fenomena lucu bahwa jarak rumah kami dengan sanak keluarga ini bisa dibilang hanya sejengkal tangan anak kecil. Tahukah anda apa penyebab tingkah laku itu dapat terjadi ? It’s so simple, karena mereka berharap agar kami harus datang kepada mereka dengan membawa sejumlah uang dan beberapa ekor hewan ternak untuk meminta kehadiran mereka (katanya sih ini tradisi).

Kondisi ini dapat kami lewati dengan baik, meskipun dengan pengetahuan seadanya bermodalkan seni bahasa untuk bertanya kepada orang lain, bermodalkan keramahan dan kerendahan hati bantuan dari surga pun berdatangan dan  persiapan pernikahan bisa dikatakan selesai. Saya pikir mungkin para tetangga dan kenalan baik Ayah yang berdatangan merupakan malaikat tak bersayap yang dikirim Allah dan almarhumah Ibu untuk menunjukan keadilan yang hakiki. Pada saat yang bersamaan nama besar Kakak dan Ayah telah banyak ternoda diluar sana. “Ah siapa yang peduli dengan cemooh tak bertuan disana, yang terpenting adalah persiapan acara pernikahan telah selesai dilaksanakan” (gumam ku dalam hati). Namun, masalah tak berhenti disitu atau mungkin Allah masih cukup sayang kepada kami sehingga ia memberikan cobaan yang lainnya melalui perantaraan tradisi adat istiadat di hari pernikahan Kakak. Masalah muncul dengan perebutan hak pendampingan mempelai wanita oleh orang yang ditunjuk oleh Ayah untuk menggantikan posisi beliau dan Ibu (pernikahan berlangsung di gereja, kami sekeluarga adalah muslim dan Kakak ku menikahi seorang kristiani sehingga kami tidak dapat menghadiri ibadah pernikahannya di gereja).

Hak mendampingi mempelai perempuan digerejapun menjadi awal masalah yang cukup besar. Sudahlah bisa dibilang ada kesahpahaman disana akan siapa sejatinya yang berhak mendampingi Kakak di gereja yakni saudara dari keluarga Ayah atau saudara dari keluarga Ibu. Jangan lupa bahwa ini ditinjau dari perspektif budaya bukan dari apapun, entah amanah yang telah diberikan Ayah atau apapun itu. Ibadah digerejapun selesai dilangsungkan, saatnya kembali ke rumah untuk melangsungkan acara syukuran dan makan bersama. Disini masalah masih berlanjut sehingga sanak keluarga Ibu dengan posisinya sebagai Atoin Amaf  tidak ikut dalam prosesi makan siang bersama. Jika saja anda paham ini adalah sebuah masalah besar. Namun sebelumnya telah kami undang ke meja makan dengan perlakuan yang sangat mulia (berlutut dihadapan mereka memohon agar mereka ikut menyantap makan siang bersama tamu undangan yang lainnya). Ah ya sudahlah, sampai berdarah lutut inipun ternyata tak cukup meluluhkan hati Atoin amaf.

            Salah satu acara prosesi pernikahan telah berlalu dengan baik meskipun terdapat masalah yang cukup besar dibelakangnya. Namun waktu seakan enggan diajak bernegoisasi, berlari seakan dikejar maut dan malam haripun tiba, acara terbesarpun akan segera berlangsung yakni resepsi pernikahan. Disana, acara berlangsung dengan sangat meriah berbekal bantuan para malaikat tak bersayap. Kedua insan manusia berbalut busana pengantin terlihat begitu memukau dipelaminan. Ditemani pasangan keluarga dan saksi, suasana pelaminan seakan begitu megah, begitu memukau dengan keliauan gaun pengantin dan aneka hiasan pelaminan. Namun tentunya kita tidak lupa dengan masalah yang terjadi sejak beberapa hari yang lalu hingga malam itu belum terselesaikan dengan baik. Jamuan makan malampun telah tersedia dengan rapi, begitu menggoda lidah dengan aroma yang khas disempurnakan oleh balutan taplak putih dengan aneka jenis perhiasan meja yang berkilauan. Seluruh tamu undangan kemudian dipersilahkan untuk ikut menyantap makan malam tak lupa juga sanak keluarga Ibu yang tengah duduk di tenda pelaminan. Dan lagi utusan demi utusanpun kembali dengan hampa. Atoin Amaf dan serumpun keluarga Ibu duduk bersamanya seakan engggan berpisah satu dengan yang lainnya. Tentu engkau paham jika berbagai utusan yang dikirm untuk mengajak mereka menyantap makan malam terus ditolak maka engaku tentunya tau bahwa ada masalah besar disana. Hingga saya ingat dengan baik, betapa sakitnya lutut ini ketika harus kembali memohon kepada mereka untuk ikut datang ke meja makan. Yap, semuanya sia-sia. Dan juga perlu dipahami bahwa permohonan dengan cara berlutut adalah salah satu bagian dari budaya yang harus dilakukan.

Tahukah anda apa yang menyebabkan mereka enggan untuk ikut menikmati jamuan makan malam ? Yap, hanya sebuah masalah kecil yang sungguh sangat tidak layak untuk dipaparkan dalam tulisan ini. Mungkin sekedar menginginkan turunnya pengantin dari pelaminan untuk mengundang mereka ke meja makan. Dapatkah anda bayangkan betapa sulitnya hal itu dilakukan dengan balutan gaun yang cukup berat dan medan altar yang tidak cukup datar serta keharusan agar tetap duduk dipelaminan menjadi faktor pengahambat yang sangat tidak memungkinkan pengantin untuk turun dan mengundang Atoin Amaf ke meja makan. Beberapa saat kemudian sekelompok keluarga itupun pergi meninggalkan tenda pernikahan tanpa pamit. Dan tentu semua orang paham hal itu bukanlah hal yang lumrah terjadi. Namun sungguh Allah sangat sayang kepada kami sehingga meskipun tengah terjadi perang dingin antar beberapa kubu keluarga namun acara tetap berlangsung dengan meriah. Tamu undangan terlihat ikut bahagia, menikmati jamuan makan malam dengan cukup puas, hingga ikut berpesta dan berdansa dan menari bersama hingga pagi menjelang.

Dua acara telah berlangsung dengan baik dan kini memasuki acara hari ke-3 yakni acara adat pernikahan. Perlu diketahui bahwa biasanya prosesi adat ini dilangsungkan sebelum acara resepsi pernikahan namun bisa dibilang ini merupakan salah satu startegi cerdik yang kami lakukan agar mencegah terjadinya hal-hal buruk sebelum acara resepsi penikahan yang tentunya akan merusak segalanya. Hal-hal buruk yang dimaksud adalah berbagai hal yang dapat terjadi dalam prosesi adat, seperti ketidak hadiran Atoin Amaf , kesalahan lisan dan tingkah laku yang dapat menimbulkan denda sejumlah uang, hingga masalah enggannya mereka untuk ikut makan bersama yang juga tentunya menjadi masalah tersembunyi. Jika saja hal ini terjadi sebelum acara resepsi pernikahan, maka dapat dipastikan bahwa acara resepsi tidak akan dapat dilakukan. Dan kekhawatiran pun benar-benar terjadi, dimana hari ke-3 akan dilangsukannya prosesi adat yang telah saya sampaikan sebelumnya bahwa pada prosesi ini keberadaan Atoin Amaf sangat penting, wajib dan sangat wajib untuk hadir disana namun kenyataannya berbalik. Tak ada serorangpun keluarga Ibu yang hadir dihari berlangsungnya prosesi adat. Bahkan sebelum acara adat ini berlangsung (sekitar h-7 jam), pasangan pengantin yang barusaja resmi menikah kemarin telah pergi menemui Atoin Amaf. Bersmpu dikakinya, berlutut, meneteskan air mata dihadapan Atoin Amaf tersebut seakan memuja dan memohon pertolongan kepada mereka agar dapat hadir dalam acara adat tersebut. Ingat sekali lagi bahwa Atoin Amaf adalah saudara laki-laki kandung dari Ibu. Namun apa daya, berlutut saja tidak cukup, menangis saja tidak cukup. Semuanya akan cukup terbayarkan dengan setumpuk uang senilai 5 juta dan beberapa ekor sapi sebagai ganti atau denda akan kesalahan yang telah diperbuat beberapa hari ini.

Permintaan sejumlah uang dan beberapa ekor sapi diatas tentunya tak dapat dipenuhi. Acara pernikahan yang berlangsung selama 7 hari ini membutuhkan biaya yang cukup besar sehingga pengeluaran tambahan seperti denda ini tidak dapat dipenuhi. Ah ya, tentunya ini merupakan sebuah tradisi yang harus dijalankan agar dapat memperbaiki hubungan kekeluargaan yang cukup dingin beberapa hari yang lalu. Tak dapat dipenuhi, Atoin Amaf pun enggan hadir dalam prosesi adat pernikahan tersebut dan bisa dibilang kali ini kami telah melanggar kebudayaan atau tradisi yang dianut oleh kalangan masyarakat Amanuban. Namun apa daya, usaha telah dilakukan semaksimal mungkin namun hasilnya tidak cukup memuaskan dan kami sekeluarga harus siap dengan berbagai kutukan Atoin Amaf yang datang. Acara adatpun berlangsung dengan lancar tanpa kehadiran Atoin Amaf bersama serumpun keluarga Ibu. Kini kami telah pasrah kepada kehendak Allah akan takdir yang datang menghampiri. Seluruh rangkain acara pernikahan berlangsung dengan baik terkecuali masalah (Ataoin Amaf). Beberapa hari kemudian kami sekeluarga menyusul ke kampung halaman sanak keluarga Ibu dan tentunya bertemu dengan Atoin Amaf (kepergian kami tanpa Ayah dan Kakak) 6 bersaudara yang masih cukup muda memberanikan diri pergi menyusuri perjalanan panjang ratusan kilo meter mengantakan seekor hewan ternak dan beberapa kilogram beras ke kediaman Atoin Amaf  dengan maksud mengantarkan makanan yang belum sempat mereka santap dalam acara besar kemarin. Sepanjang perjalanan dengan iringan do’a Kakak dan Ayah semoga apa yang kami lakukan dapat memberikan nilai postif bagi kami.

Pernikahan telah selesai dilangsungkan namun tradisi masih berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai masalah tersebut lagi dan lagi menuntut denda yang cukup besar meliputi emas, uang, hewan ternak dan lain sebagainya. Sedikit melakukan kesalahan maka segera siapkan sejumlah uang dan hewan ternak maka engkau akan bebas dari kutukan maut. Melihat kondisi ini, saya dan beberapa saudara yang belum menikah bertekad untuk berusaha menjauhi budaya Timor Amanuban yang kami anut. Pergi menjauhi kampung halaman mencari budaya modern yang memudahkan kehidupan manusia. Karena pada kenyataannya kebudayaan yang kami anut tidak memberikan nilai tambah sedikitpun, tradisi demi tradisi terasa seperti lintah darat yang terus menghisap darah kami tanpa pengampunan sedikitpun. Diam, tenang, namun membunuh secara perlahan dengan cara yang tragis.  Namun tidak, sekali tidak. Kami memilih untuk terus bertahan hidup. Enggan untuk hidup bersama para pembunuh berdarah dingin tersebut. Mungkin satu-satunya cara yang dapat kami lakukan adalah dengan pergi menjauh, meninggalkan kampung halaman dan mengadopsi budaya modern agar dapat terus bertahan hidup. Ah ya, kami sekeluarga menolak dibunuh oleh tradisi. Sekian

Pernikahan & Pengabdian yang Kejam

Selasa, Desember 12th, 2017

Pernikahan dan Pengabdian yang Kejam

Well….. Wellllll….Wellllll

Setelah sekian lama memendam akhirnya hari ini aku jadi tertarik untuk mencurahkan semua ini dalam sebuah halaman opini pribadi. It just about pernikahan,  yang bisa dibilang menjadi salah satu fenomena atau isu menarik yang kini hangat diperbincangkan dikalangan muda-mudi. Entah apa yang menarik dari sana aku bahkan belum paham sama sekali. Terkadang ingin rasanya aku kembali ke masa kanak-kanak untuk menjauhi masa dewasa.

Hari ini ketika kamu kuliah yang ditanya kapan wisuda ? setelah wisuda kapan bekerja atau yang paling fenomenal sekarang adalah kapan akan menikah ? setelah menikah yang ditanya kapan punya anak ? kapan punya cucu dan kemudian selesai sekalian ajah ditanya kapan mau mati ? Aku pikir lingkungan seperti perlu dijauhi oleh anak-anak remaja. Bukannya apa-apa, tau ajah ada tetangga yang anaknya menikah eh malah kita yang dibawa-bawa kapan menikah ? kalau aku ditanya demikian jika ia orang tua aku akan menjawab Ibu kapan bercerai ? atau kapan ingin mati ? jika dia adalah pemuda/i mungkin aku akan menjawab emang sudah berapa rumah tangga ? eh salah, i mean rumah yang ada tangganya 😛

Beberapa tahun silam ketika aku duduk dibangku SMA  rasanya pembicaraan nikah merupakan sebuah hal yang cukup tabu untuk diperbincangkan. Menjadi suatu hal yang sangat dihindari bahkan masih tersimpan baik dalam ingatan akan beberapa teman seperjuangan yang seakan ketakutan ketika membicarakan hal yang berkaitan dengan pernikahan.  I think pernikahan merupakan suatu hal yang sangat sakral, pelaksanaannya membutuhkan persiapan yang sangat matang bukan hanya kesiapan finansial, tapi yang terpenting adalah kesiapan jiwa atau pikiran untuk membentuk suatu keluarga kecil yang baru, bagaimana caranya memahami satu dengan yang lainnya hingga berbagai permasalahan yang harus siap ditangani oleh suatu pasangan.

Mari sejenak kembali melihat kondisi hari ini, zaman  yang katanya adalah zaman generasi milenial, dimana segala sesuatu yang dahulunya tidak mungkin dilakukan menjadi mungkin untuk dilakukan. Sesuatu yang dahulu tabu untuk dibicarakan, kini menjadi hal biasa yang di perbincangkan. Mulai dari maraknya pergaulan bebas, penggunaan alkohol, narkoba hingga yang paling miris menurut saya adalah fenomena pacaran yang kini merambat, merasuk dan menghancurkan generasi muda khususnya dunia anak-anak. Ah tapi ya sudahlah, semua itu mungkin sudah basi untuk dibahas, kini saya lebih tertarik untuk membahas fenomena nikah muda. Uhukk… Fenomena yang pada zaman sebelum era milenial, sesungguhnya sangat diusahakan untuk dijauhkan dari kalangan usia muda.  Duhh kalau udah kayak gini masalahnya bakalan beda lagi wkwkwkwk. Mari kita kembali ke TKP… Eh salah ke pemabahasan sesungguhnya.

Sebelumnya perlu saya tekanakan kepada seluruh kalangan bahwa tulisan yang saya buat ini murni merupakan opini pribadi yang ingin saya bagikan, tidak bermaksud menyindir siapapun, atau bahkan menyalahkan dan menentang pernikahan. Tulisan ini saya buat murni untuk kembali mengingatkan teman-teman saya khsusunya adik-adik  yang saya cintai, dan juga diri saya sendiri. Silahkan jika anda adalah orang yang mengakunya sebagai generasi terdidik maka berikanlah pandangan dengan cara yang baik. Okeh ? 😀

Tulisan ini berawal dari keprihatinan saya kepada diri saya sendiri ketika ditanya oleh teman-teman kapan akan menikah ? saya sering menjawab entah mungkin jika suatu saat jika menurut saya menikah itu adalah suatu hal yang diperlukan. Hal ini spontan saya utarakan mengingat cita-cita saya yang ingin membalas kebaikan orang tua saya khususnya kepada Ibu saya namun sungguh sudah terlambat, kini beliau telah tiada meninggalkan Ayah seorang diri berusaha tetap tegar untuk senantiasa melindungi kami. Betapa hati ini hancur seakan diluluhlantahkan ketika melihat orang tua teman-teman saya datang menghadiri acara wisuda di kampus kemarin. Aku berpikir betapa bahagianya para orang tua yang datang, meskipun itu hanya kebahagiaan kecil yang mungkin sebentar lagi akan hilang direbut sang punjanga yang datang menggoda buah hatinya.

Sejenak terdiam dan merenung pernah ngak sih kita terbayang kapan dan dengan apa kita akan membalas pengorbanan orang tua kepada kita ? Sejak kecil hingga dewasa banyak dari mereka yang menolak kebahagiaan demi kesuksesan anak-anaknya. Jadi ingat dulu ketika aku masih kecil dan dikala makanan sedang susah Ayah sering membagi makanannya dengan kami yang sesungguhnya sudah mendapatkan jatah sendiri meskipun jatah kami tentu lebih sedikit dari jatah Ayah dengan asumsi Ayah harus bekerja dan butuh banyak makanan. Namun pada realitanya Ayah tak pernah melakukan itu, ketika makan bersama Ayah selalu membagi makanannya kepada kami hingga akhirnya mungkin ia hanya mendapat beberapa gumpalan nasi putih untuk sekedar mengisi perut, dan ah yaa tentunya ia selalu berkata bahwa ia sudah kenyang. Ada banyak moment dimana Ayah dan Ibu menjual berbagai barang kesayangannya untuk sekedar membeli beras untuk makan hari itu. Pekerjaan Ayah hanyalah memikul 6-20 jerigen air (ukuran 5 liter) untuk dijual ke sekitaran desa dengan harga Rp. 1000 untuk 6-12 jerigen air. Pekerjan ini selalu ia lakukan dengan semangat yang bergelora demi memperoleh beberapa butir beras yang mungkin jika beruntung akan mendapatkan beras yang putih jernih nan berkilau. Tubuhnya yang kurus seakan bersatu dengan teriknya sang mentari dan suasana kegelapan malam yang mencekam.

 Terkadang banyak fitnah yang datang menghampiri  dan membuatnya meneteskan air mata, namun ia enggan untuk peduli karena sekejam-kejamnya fitnah itu belum bisa mengalahkan kekuatan tawa kami ketika melihatnya pulang membawa segenggam beras.  Terkadang ia menjual air dimalam hari, malam yang ketika hujan badai seakan begitu kejam. Namun dibalik kejamnya badai itu, terletak seuntai do’a semoga hujan ini terus berlanjut hingga pagi menjelang agar orang-orang tidak dapat bepergian dan memilih untuk memesan beberapa jerigen air milik beliau. Ketika hujan orang-orang akan malas untuk pergi mengambil air sendiri ke mata air sehingga hujan deras menjadi salah satu moment berharga untuk kami sekedar mendapatkan banyak nasi dan mungkin tambahan beberapa bungkus mie instan. Melihat sekantung beras berisi beberapa bungkus mie instan rasanya seakan melihat taman surga. Namun dibalik semua itu, ada perjuangan beliau yang rela basah kuyup, kedinginan, gemetar karena lapar dan lelah kian merasuk. Jika saja engkau tau, desa ku adalah salah satu tempat terdingin di NTT bahkan di Indonesia.

Well,  tidak hanya berhenti disitu saja, aku ingat dengan baik ketika adik ku jatuh sakit, kala itu Ibu ku telah dipanggil dahulu oleh  Sang Ilahi sehingga aku dan 6 orang saudara ku harus diurus sendiri oleh Ayah ku. Malam itu beliau sangat kelelahan seharian berjualan air keliling desa, tapi malam itu juga adik ku diserang demam tinggi  dan terus menangis akhirnya hanya bisa tenang dipangkuan beliau sehingga mau ngak mau beliau harus duduk sembari menggendong adik ku agar ia bisa tertidur. Bergadang semalaman suntuk untuk menggendong adik ku, aku pikir itu sangat melelahkan dan ah ya… pagi harinya tanpa sarapan beliau harus segera bergegas pergi menjual air lagi untuk kebutuhan kami hari itu. Lagi dan lagi sungguh banyak pengorbanan beliau untuk membesarkan kami hingga kini 2 orang kakak ku telah bekerja dan bahkan telah berkeluarga sedangkan aku dan adik-adik ku masih duduk dibangku sekolah.

                Well, kembali ke masalah nikah muda. Apa yang kemudian membuat ku sedikit tergelitik untuk menulis ini. Dari berbagai masalah diatas sejenak aku ingin mengajak kita semua untuk berpikir dan menjawab pertanyaan yang ku lontarkan sebelumnya “kapan dan dengan apakah kita akan membalas pengorbanan orang tua kita ?

  • Usia 0-5 tahun tentu kita belum dapat melakukan apapun untuk membantu orang tua kita.
  •  Masuk ke usia 6 hingga sekitar 25 tahun adalah usia yang kita gunakan untuk sekolah.
  • Dapat asumsikan hampir 20 tahun itu 90% waktu kita gunakan untuk pendidikan yang sudah pasti adalah untuk masa depan kita sendiri.
  •  Hanya tersisa sekitar 10% waktu yang kita gunakan untuk mungkin sesekali membantu pekerjaan mereka.
  • Memasuki usia 26 tahun ke atas sebagain besar dari kita telah memilih untuk menikah. Dimana ketika menikah hampir 98% waktu yang kita miliki adalah untuk mengurus rumah tangga kita sendiri. Bahkan terkadang kita tak punya waktu sama sekali untuk menjenguk mereka , waktu liburan kita gunakan untuk liburan dengan keluarga kita yang baru. Bahkan terkadang kita enggan untuk mengajak mereka yang telah memasuki usia lanjut. Bahkan sekali lagi terkadang ketika mereka datang berkunjung kita selalu memperlakukan mereka dengan tidak baik, hingga terkadang banyak dari mereka yang enggan untuk berkunjung ke rumah anaknya.

                Kebayang ngak sih buah hati yang beliau rawat dengan perjuangan dan pengorbanan harta, jiwa dan raga tetiba diambil orang yang barusan kenal dalam waktu rentan waktu yang cukup singkat.  Baru juga lulus sekolah udah diambil orang atau bahkan banyak yang belum lulus sekolah telah memilih berkeluarga. Engkau bahkan belum sama sekali membalas kebaikannya. Apakah dengan engkau membantu pekerjaanya ketika ia masih kuat adalah suatu tindakan balas budi ? Tidak kawan, sesungguhnya beliau tidak membutuhkan mu dimasa-masa itu. Beliau justru sangat membutuhkan mu ketika menginjak usia lanjut. Ketika banyak hal tak dapat lagi ia lakukan sendiri, seakan kembali menjadi anak-anak yang tak berdaya. Namun saat itu tiba engkau telah diambil orang dijadikan babu untuk melayaninya. Ia bahkan enggan meminta uang pada anak-anaknya yang telah berkeluarga, dengan kekuatan fisik diusianya ia lebih memilih bekerja kebanding harus menyusahkan anaknya. Oh Allah pernahkah sejenak kita merenunginya ? Engkau melahirkan seorang anak dengan harapan akan merawat mu dimasa tua, namun ternyata sebaliknya. Engkau hanya berkorban untuk menjaga milik orang lain yang sedang berada dalam perjalanan.

                Pernahkah engkau berpikir, bukankah pujangga itu baru saja engkau kenal ? lalu dengan mudahnya engkau menyerahkan diri untuk melayaninya seumur hidup mu. Enak saja ia datang dengan mudah meminta engkau mengurusi hidupnya. Enak saja dia datang dengan berbagai aturan yang mengatur hidup mu. Padahal sekian banyak aturan yang ditetapkan oleh orang tua mu selalu engkau ingkari. Duhai anak muda sungguh busuk hati mu. Mereka yang rela mengorbankan jiwa dan raganya selama bertahun-tahun selalu engkau tolak bahkan untuk sekedar menanyakan kabarnya, atau mengingatkannya untuk makan, tidur atau menjaga kesehatannya. Pernahkan engkau bandingkan seberapa sering engkau menayakan sudahkah engkau makan kepada suami atau istri mu, dan seberapa sering engkau bertanya hal yang sama kepada Ayah atau Ibunda mu ? dan tak lupa seberapa sering mereka mengingatkan mu untuk makan selama bertahun-tahun hingga engkau memilih mengabdi padanya sang perebut mustika ? Terkadang mereka bahkan rela untuk tidak makan sekedar memastikan sudahkah engkau menikmati makanan yang sama ? Sekali lagi duhai pemuda yang berbunga-bunga, engkau sungguh kejam kawan.

                Duhai kalian saudara ku, pernahkah engkau berpikir betapa tidak adilnya diri mu kepada Ayah-Ibu mu ? ketika engkau menikah seluruh hidup mu, tanggung jawab terhadap mu telah dikendalikan oleh suami atau istiri mu. Bagi engkau saudari ku ketika engkau disakiti oleh suami mu, ia Sang Ayah pejuang tak boleh membela mu. Tak boleh ikut campur dengan urusan keluarga mu. Bahkan terkadang wahai engkau sang lelaki pujangga, ia yang barusaja engaku nikahi bahkan membuat mu lalai dan bahkan durhaka kepada ibu mu. Sekali lagi ia barusaja mengenal mu bak raja dan ratu yang meminta dengan seenaknya untuk mengabdi kepadanya seumur hidup mu. Sekali lagi adalah seumur hidup mu. Tanpa punya waktu sedikitpun untuk mengabdi kepada orang tua mu. Lalu untuk kesekian kalinya aku bertanya kapan dan dengan apa engkau akan mebalas kebaikan orang tua mu? Sadarkah engkau semua perbuatan orang tua mu yang terkadang mungkin juga menyakiti mu adalah sekedar untuk memastikan kebahagiaan mu ? Contoh kecilnya adalah ketika ia tidak menyetujui hubungan mu dengan seseorang, bukan berarti ia membenci mu ingat kawan yang ia lakukan hanya sekedar memastikan permatanya jatuh ketangan yang benar.

                Pada akhirnya yang ingin kusampaikan adalah menikahlah kawan, sesungguhnya menikah itu adalah cara terbaik untuk menghindari zina. Tapi jangan lupa kawan, engkau masih punya hutang kepada orang tua mu. Dan perbanyaklah ampunan kepadaNya, semoga kelak anak mu  dapat memperlakukan dengan baik  baik dari apa yang engkau lakukan kepada orang tua mu. Dan sekali lagi ingat kawan, pengabdian, balas budi kepada orang tua sungguh tak dapat engkau bayar dengan apapun. Terlepas dari berbagai kasus kejahatan orang tua terhadap anaknya diberbagai belahan dunia, pahamilah kawan. Bahwa terkadang dibalik kejahatan itu selalu ada rahasia besar yang mungkin tidak engkau ketahui. Jika engkau sadar, sebagaian besar dari mereka yang berlaku demikan memiliki ganguaan tersendiri yang mungkin jauh lebih berat dari apa yang kita ketahui. Sejatinya pahlawan tanpa tanda jasa adalah orang tua yang bahkan tak pernah menuntut, melainkan cenderung berkorban untuk kebahagiaan anaknya bahkan hingga hembusan nafas yang terakhir. Sekali lagi menikahlah namun jangan lupa untuk senantiasa mengabdi kepada orang tua mu. Menikahlah pada waktunya, jangan mudah terpengaruh dengan lingkungan karena pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Sekian