Author Archive
Pernikahan & Pengabdian yang Kejam
Selasa, Desember 12th, 2017Pernikahan dan Pengabdian yang Kejam
Well….. Wellllll….Wellllll
Setelah sekian lama memendam akhirnya hari ini aku jadi tertarik untuk mencurahkan semua ini dalam sebuah halaman opini pribadi. It just about pernikahan, yang bisa dibilang menjadi salah satu fenomena atau isu menarik yang kini hangat diperbincangkan dikalangan muda-mudi. Entah apa yang menarik dari sana aku bahkan belum paham sama sekali. Terkadang ingin rasanya aku kembali ke masa kanak-kanak untuk menjauhi masa dewasa.
Hari ini ketika kamu kuliah yang ditanya kapan wisuda ? setelah wisuda kapan bekerja atau yang paling fenomenal sekarang adalah kapan akan menikah ? setelah menikah yang ditanya kapan punya anak ? kapan punya cucu dan kemudian selesai sekalian ajah ditanya kapan mau mati ? Aku pikir lingkungan seperti perlu dijauhi oleh anak-anak remaja. Bukannya apa-apa, tau ajah ada tetangga yang anaknya menikah eh malah kita yang dibawa-bawa kapan menikah ? kalau aku ditanya demikian jika ia orang tua aku akan menjawab Ibu kapan bercerai ? atau kapan ingin mati ? jika dia adalah pemuda/i mungkin aku akan menjawab emang sudah berapa rumah tangga ? eh salah, i mean rumah yang ada tangganya 😛
Beberapa tahun silam ketika aku duduk dibangku SMA rasanya pembicaraan nikah merupakan sebuah hal yang cukup tabu untuk diperbincangkan. Menjadi suatu hal yang sangat dihindari bahkan masih tersimpan baik dalam ingatan akan beberapa teman seperjuangan yang seakan ketakutan ketika membicarakan hal yang berkaitan dengan pernikahan. I think pernikahan merupakan suatu hal yang sangat sakral, pelaksanaannya membutuhkan persiapan yang sangat matang bukan hanya kesiapan finansial, tapi yang terpenting adalah kesiapan jiwa atau pikiran untuk membentuk suatu keluarga kecil yang baru, bagaimana caranya memahami satu dengan yang lainnya hingga berbagai permasalahan yang harus siap ditangani oleh suatu pasangan.
Mari sejenak kembali melihat kondisi hari ini, zaman yang katanya adalah zaman generasi milenial, dimana segala sesuatu yang dahulunya tidak mungkin dilakukan menjadi mungkin untuk dilakukan. Sesuatu yang dahulu tabu untuk dibicarakan, kini menjadi hal biasa yang di perbincangkan. Mulai dari maraknya pergaulan bebas, penggunaan alkohol, narkoba hingga yang paling miris menurut saya adalah fenomena pacaran yang kini merambat, merasuk dan menghancurkan generasi muda khususnya dunia anak-anak. Ah tapi ya sudahlah, semua itu mungkin sudah basi untuk dibahas, kini saya lebih tertarik untuk membahas fenomena nikah muda. Uhukk… Fenomena yang pada zaman sebelum era milenial, sesungguhnya sangat diusahakan untuk dijauhkan dari kalangan usia muda. Duhh kalau udah kayak gini masalahnya bakalan beda lagi wkwkwkwk. Mari kita kembali ke TKP… Eh salah ke pemabahasan sesungguhnya.
Sebelumnya perlu saya tekanakan kepada seluruh kalangan bahwa tulisan yang saya buat ini murni merupakan opini pribadi yang ingin saya bagikan, tidak bermaksud menyindir siapapun, atau bahkan menyalahkan dan menentang pernikahan. Tulisan ini saya buat murni untuk kembali mengingatkan teman-teman saya khsusunya adik-adik yang saya cintai, dan juga diri saya sendiri. Silahkan jika anda adalah orang yang mengakunya sebagai generasi terdidik maka berikanlah pandangan dengan cara yang baik. Okeh ? 😀
Tulisan ini berawal dari keprihatinan saya kepada diri saya sendiri ketika ditanya oleh teman-teman kapan akan menikah ? saya sering menjawab entah mungkin jika suatu saat jika menurut saya menikah itu adalah suatu hal yang diperlukan. Hal ini spontan saya utarakan mengingat cita-cita saya yang ingin membalas kebaikan orang tua saya khususnya kepada Ibu saya namun sungguh sudah terlambat, kini beliau telah tiada meninggalkan Ayah seorang diri berusaha tetap tegar untuk senantiasa melindungi kami. Betapa hati ini hancur seakan diluluhlantahkan ketika melihat orang tua teman-teman saya datang menghadiri acara wisuda di kampus kemarin. Aku berpikir betapa bahagianya para orang tua yang datang, meskipun itu hanya kebahagiaan kecil yang mungkin sebentar lagi akan hilang direbut sang punjanga yang datang menggoda buah hatinya.
Sejenak terdiam dan merenung pernah ngak sih kita terbayang kapan dan dengan apa kita akan membalas pengorbanan orang tua kepada kita ? Sejak kecil hingga dewasa banyak dari mereka yang menolak kebahagiaan demi kesuksesan anak-anaknya. Jadi ingat dulu ketika aku masih kecil dan dikala makanan sedang susah Ayah sering membagi makanannya dengan kami yang sesungguhnya sudah mendapatkan jatah sendiri meskipun jatah kami tentu lebih sedikit dari jatah Ayah dengan asumsi Ayah harus bekerja dan butuh banyak makanan. Namun pada realitanya Ayah tak pernah melakukan itu, ketika makan bersama Ayah selalu membagi makanannya kepada kami hingga akhirnya mungkin ia hanya mendapat beberapa gumpalan nasi putih untuk sekedar mengisi perut, dan ah yaa tentunya ia selalu berkata bahwa ia sudah kenyang. Ada banyak moment dimana Ayah dan Ibu menjual berbagai barang kesayangannya untuk sekedar membeli beras untuk makan hari itu. Pekerjaan Ayah hanyalah memikul 6-20 jerigen air (ukuran 5 liter) untuk dijual ke sekitaran desa dengan harga Rp. 1000 untuk 6-12 jerigen air. Pekerjan ini selalu ia lakukan dengan semangat yang bergelora demi memperoleh beberapa butir beras yang mungkin jika beruntung akan mendapatkan beras yang putih jernih nan berkilau. Tubuhnya yang kurus seakan bersatu dengan teriknya sang mentari dan suasana kegelapan malam yang mencekam.
Terkadang banyak fitnah yang datang menghampiri dan membuatnya meneteskan air mata, namun ia enggan untuk peduli karena sekejam-kejamnya fitnah itu belum bisa mengalahkan kekuatan tawa kami ketika melihatnya pulang membawa segenggam beras. Terkadang ia menjual air dimalam hari, malam yang ketika hujan badai seakan begitu kejam. Namun dibalik kejamnya badai itu, terletak seuntai do’a semoga hujan ini terus berlanjut hingga pagi menjelang agar orang-orang tidak dapat bepergian dan memilih untuk memesan beberapa jerigen air milik beliau. Ketika hujan orang-orang akan malas untuk pergi mengambil air sendiri ke mata air sehingga hujan deras menjadi salah satu moment berharga untuk kami sekedar mendapatkan banyak nasi dan mungkin tambahan beberapa bungkus mie instan. Melihat sekantung beras berisi beberapa bungkus mie instan rasanya seakan melihat taman surga. Namun dibalik semua itu, ada perjuangan beliau yang rela basah kuyup, kedinginan, gemetar karena lapar dan lelah kian merasuk. Jika saja engkau tau, desa ku adalah salah satu tempat terdingin di NTT bahkan di Indonesia.
Well, tidak hanya berhenti disitu saja, aku ingat dengan baik ketika adik ku jatuh sakit, kala itu Ibu ku telah dipanggil dahulu oleh Sang Ilahi sehingga aku dan 6 orang saudara ku harus diurus sendiri oleh Ayah ku. Malam itu beliau sangat kelelahan seharian berjualan air keliling desa, tapi malam itu juga adik ku diserang demam tinggi dan terus menangis akhirnya hanya bisa tenang dipangkuan beliau sehingga mau ngak mau beliau harus duduk sembari menggendong adik ku agar ia bisa tertidur. Bergadang semalaman suntuk untuk menggendong adik ku, aku pikir itu sangat melelahkan dan ah ya… pagi harinya tanpa sarapan beliau harus segera bergegas pergi menjual air lagi untuk kebutuhan kami hari itu. Lagi dan lagi sungguh banyak pengorbanan beliau untuk membesarkan kami hingga kini 2 orang kakak ku telah bekerja dan bahkan telah berkeluarga sedangkan aku dan adik-adik ku masih duduk dibangku sekolah.
Well, kembali ke masalah nikah muda. Apa yang kemudian membuat ku sedikit tergelitik untuk menulis ini. Dari berbagai masalah diatas sejenak aku ingin mengajak kita semua untuk berpikir dan menjawab pertanyaan yang ku lontarkan sebelumnya “kapan dan dengan apakah kita akan membalas pengorbanan orang tua kita ?
- Usia 0-5 tahun tentu kita belum dapat melakukan apapun untuk membantu orang tua kita.
- Masuk ke usia 6 hingga sekitar 25 tahun adalah usia yang kita gunakan untuk sekolah.
- Dapat asumsikan hampir 20 tahun itu 90% waktu kita gunakan untuk pendidikan yang sudah pasti adalah untuk masa depan kita sendiri.
- Hanya tersisa sekitar 10% waktu yang kita gunakan untuk mungkin sesekali membantu pekerjaan mereka.
- Memasuki usia 26 tahun ke atas sebagain besar dari kita telah memilih untuk menikah. Dimana ketika menikah hampir 98% waktu yang kita miliki adalah untuk mengurus rumah tangga kita sendiri. Bahkan terkadang kita tak punya waktu sama sekali untuk menjenguk mereka , waktu liburan kita gunakan untuk liburan dengan keluarga kita yang baru. Bahkan terkadang kita enggan untuk mengajak mereka yang telah memasuki usia lanjut. Bahkan sekali lagi terkadang ketika mereka datang berkunjung kita selalu memperlakukan mereka dengan tidak baik, hingga terkadang banyak dari mereka yang enggan untuk berkunjung ke rumah anaknya.
Kebayang ngak sih buah hati yang beliau rawat dengan perjuangan dan pengorbanan harta, jiwa dan raga tetiba diambil orang yang barusan kenal dalam waktu rentan waktu yang cukup singkat. Baru juga lulus sekolah udah diambil orang atau bahkan banyak yang belum lulus sekolah telah memilih berkeluarga. Engkau bahkan belum sama sekali membalas kebaikannya. Apakah dengan engkau membantu pekerjaanya ketika ia masih kuat adalah suatu tindakan balas budi ? Tidak kawan, sesungguhnya beliau tidak membutuhkan mu dimasa-masa itu. Beliau justru sangat membutuhkan mu ketika menginjak usia lanjut. Ketika banyak hal tak dapat lagi ia lakukan sendiri, seakan kembali menjadi anak-anak yang tak berdaya. Namun saat itu tiba engkau telah diambil orang dijadikan babu untuk melayaninya. Ia bahkan enggan meminta uang pada anak-anaknya yang telah berkeluarga, dengan kekuatan fisik diusianya ia lebih memilih bekerja kebanding harus menyusahkan anaknya. Oh Allah pernahkah sejenak kita merenunginya ? Engkau melahirkan seorang anak dengan harapan akan merawat mu dimasa tua, namun ternyata sebaliknya. Engkau hanya berkorban untuk menjaga milik orang lain yang sedang berada dalam perjalanan.
Pernahkah engkau berpikir, bukankah pujangga itu baru saja engkau kenal ? lalu dengan mudahnya engkau menyerahkan diri untuk melayaninya seumur hidup mu. Enak saja ia datang dengan mudah meminta engkau mengurusi hidupnya. Enak saja dia datang dengan berbagai aturan yang mengatur hidup mu. Padahal sekian banyak aturan yang ditetapkan oleh orang tua mu selalu engkau ingkari. Duhai anak muda sungguh busuk hati mu. Mereka yang rela mengorbankan jiwa dan raganya selama bertahun-tahun selalu engkau tolak bahkan untuk sekedar menanyakan kabarnya, atau mengingatkannya untuk makan, tidur atau menjaga kesehatannya. Pernahkan engkau bandingkan seberapa sering engkau menayakan sudahkah engkau makan kepada suami atau istri mu, dan seberapa sering engkau bertanya hal yang sama kepada Ayah atau Ibunda mu ? dan tak lupa seberapa sering mereka mengingatkan mu untuk makan selama bertahun-tahun hingga engkau memilih mengabdi padanya sang perebut mustika ? Terkadang mereka bahkan rela untuk tidak makan sekedar memastikan sudahkah engkau menikmati makanan yang sama ? Sekali lagi duhai pemuda yang berbunga-bunga, engkau sungguh kejam kawan.
Duhai kalian saudara ku, pernahkah engkau berpikir betapa tidak adilnya diri mu kepada Ayah-Ibu mu ? ketika engkau menikah seluruh hidup mu, tanggung jawab terhadap mu telah dikendalikan oleh suami atau istiri mu. Bagi engkau saudari ku ketika engkau disakiti oleh suami mu, ia Sang Ayah pejuang tak boleh membela mu. Tak boleh ikut campur dengan urusan keluarga mu. Bahkan terkadang wahai engkau sang lelaki pujangga, ia yang barusaja engaku nikahi bahkan membuat mu lalai dan bahkan durhaka kepada ibu mu. Sekali lagi ia barusaja mengenal mu bak raja dan ratu yang meminta dengan seenaknya untuk mengabdi kepadanya seumur hidup mu. Sekali lagi adalah seumur hidup mu. Tanpa punya waktu sedikitpun untuk mengabdi kepada orang tua mu. Lalu untuk kesekian kalinya aku bertanya kapan dan dengan apa engkau akan mebalas kebaikan orang tua mu? Sadarkah engkau semua perbuatan orang tua mu yang terkadang mungkin juga menyakiti mu adalah sekedar untuk memastikan kebahagiaan mu ? Contoh kecilnya adalah ketika ia tidak menyetujui hubungan mu dengan seseorang, bukan berarti ia membenci mu ingat kawan yang ia lakukan hanya sekedar memastikan permatanya jatuh ketangan yang benar.
Pada akhirnya yang ingin kusampaikan adalah menikahlah kawan, sesungguhnya menikah itu adalah cara terbaik untuk menghindari zina. Tapi jangan lupa kawan, engkau masih punya hutang kepada orang tua mu. Dan perbanyaklah ampunan kepadaNya, semoga kelak anak mu dapat memperlakukan dengan baik baik dari apa yang engkau lakukan kepada orang tua mu. Dan sekali lagi ingat kawan, pengabdian, balas budi kepada orang tua sungguh tak dapat engkau bayar dengan apapun. Terlepas dari berbagai kasus kejahatan orang tua terhadap anaknya diberbagai belahan dunia, pahamilah kawan. Bahwa terkadang dibalik kejahatan itu selalu ada rahasia besar yang mungkin tidak engkau ketahui. Jika engkau sadar, sebagaian besar dari mereka yang berlaku demikan memiliki ganguaan tersendiri yang mungkin jauh lebih berat dari apa yang kita ketahui. Sejatinya pahlawan tanpa tanda jasa adalah orang tua yang bahkan tak pernah menuntut, melainkan cenderung berkorban untuk kebahagiaan anaknya bahkan hingga hembusan nafas yang terakhir. Sekali lagi menikahlah namun jangan lupa untuk senantiasa mengabdi kepada orang tua mu. Menikahlah pada waktunya, jangan mudah terpengaruh dengan lingkungan karena pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Sekian
Beautiful Paradise
Selasa, Desember 12th, 2017AKU DAN SAJADHA (Safari Jama’ah Shalahuddin Dalam Idul Adha)
Senin, September 4th, 2017
Ini namanya Pak Matsani, salah satu petani cabai di Dusun Bojong, Desa Argomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang,Jawa Tengah. Banyak pelajaran berharga yang ku dapat dari keluarga kecilnya Bapak Matsani, pelajaran berharga mengenai makna kehidupan yang sesungguhnya. Terlalu banyak pelajaran yang bahkan tidak dapat kuuraikan satu persatu, namun hari ini ada 1 hal yang ingin ku bagikan kepada dunia “ jangan bersyukur ketika engkau bahagia karena jika demikian maka engkau tak akan pernah merasakan makna kebahagiaan yang sesungguhnya, namun bersyukurlah agar engkau senantiasa berbahagia”. Hanya 2 hari aku berada disana,mengikuti sebuah program live in yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Jama’ah Shalahuddin UGM dalam rangkaian acara semarak Idul Adha 1438 H. Meskipun begitu singkat, namun tak bisa kupungkiri bahwa kehangatan keluarga kecil itu begitu memikat hati membuat ku rindu hingga rasanya aku ingin tinggal lebih lama disana. Didalam gubuk kecil nan sederhana itu, terdapat 8 orang anggota keluarga yakni Pak Matsani, Istrinya dan 3 orang anaknya yang lucu dan sangat menginspirasi beserta Mertuanya yang sangat sopan dan ramah. Mereka hidup serba kekurangan hingga membuat ku berkesimpulan bahwa mereka adalah orang-orang hebat yang sesungguhnya tersembunyi dibalik gubuk kecil nan sederhana.
Hidup sebagai seorang petani dengan lahan berkuran ± 20 meter ternyata tidak cukup mudah. Lahan kecil tersebut menjadi modal utama untuk membiayai hidup keluarga kecilnya. Lahan seluas 20 meter persegi ini ditanami dengan aneka tanaman pertanian seperti sayuran, kacang-kacangan, dan cabai sebagai tanaman utamanya. Tanaman cabai adalah tanaman yang memiliki usia paling panjang dari semua jenis tanaman yang ditanam oleh Pak Matsani begitupula degan sumber penghasilan utama keluarga ini. Cabai yang ditanam merupakan cabai bangkok (kata Pak Matsani) dengan ciri khas buah yang cukup menggoda bagi para pencita cabai. Tanaman ini akan berbuah setelah masa perawatan selama 4 bulan yang tentunya dengan perawatan yang terbaik seperti pemberian pupuk, air, pemeliharaan dari hama dan tanaman penganggu lainnya. Well aku pikir ini bukan sebuah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan, cukup menguras tenaga dan menantang kesabaran. Setelah berbuah cabai ini akan dijual ke tengkulak atau pemborong dengan harga yang tidak stabil. Harga cabai ini kemudian menjadi salah satu permasalahan yang saya pikir cukup miris, terhitung tanggal 1 sepetember 2017 kemarin harga cabai di dusun Bojong yang dijual ke pemborong adalah Rp. 5000/Kg. Dalam 1 kali panen Pak Matsani hanya bisa menimbang 3 – 4 Kg Cabai yang artinya hanya menghasilkan uang sebanyak Rp. 15.000 – Rp. 20.000.
Tanaman Cabai dewasa, jika beruntung bisa dipanen hingga 10 kali dengan selang waktu 2 kali seminggu. Artinya cabai yang dirawat selama 4 bulan, hanya bisa menhasilkan uang ± 200.000 dengan taksiran jumlah cabai per 1 kali panen adalah 4 Kg dengan harga Rp. 5000/Kg. Lalu ingatkah anda dengan fenomena naiknya harga cabai beberapa bulan kemarin hingga mencapai Rp.100.000/Kg ? Ketika itu aku adalah salah satu dari jutaan masayarakat Indonesia yang kaya raya dan seenaknya menuntut kenaikan harga cabai. Betapa malu dan hancurnya aku ketika tau apa yang terjadi pada keluarga Pak Matsani ketika terjadi kenaikan harga cabai. Mereka tengah mengalami kesulitan yang mungkin tak dapat saya curahkan dalam tulisan ini. Betapa bersyukurnya mereka ketika harga cabai menjulang tinggi yang kita ketahui fenomena ini jarang terjadi, dan artinya secara singkat keluarga Pak Matsani hanya mampu membeli barang-barang kecil ketika terjadi kenaikan harga cabai. Oh My Allah, betapa berdosanya diri ini, ketika terjadi kenaikan harga cabai kami yang bergelimang harta ini hanya perlu mengeluarkan sedikit tambahan uang untuk membeli cabai dengan berbagai cacian yang terlebih dulu dilontarkan kepada para petani. Sedangkan pada saat yang bersamaan ada sekian banyak petani seperti Pak Matsani ini yang sejud syukur atas sedikit tambahan rezeki yang saya pikir tidak seberapa dan bahkan hanya terjadi dalam beberapa hari. Setelah sekian banyak istri para pejabat yang menuntut kenaikan harga cabai, beberapa saat kemudiapun keluarga Pak Matsani harus kembali bersabar untuk menikmati segelas susu dan sepotong roti. Lalu ketika harga cabai turun hingga 3000/Kg adakah tuntutan mereka yang pernah diangkat oleh media dan tersampaikan kepada pemerintah dan khalayak umum ? Tidak. Sekali lagi tidak.
Mereka hanya pasrah dan berkata “ya sudahlah paling tidak masih ada yang beli” Oh Allah, saya bahkan tak bisa berkata-kata lagi. Saya tak cukup paham dengan masalah ekonomi dan politik pasar, tapi saya berharap semoga suatu saat harga-harga hasil pertanian ini bisa mendapatkan standar harga yang layak dan stabil. Entah apa yang akan terjadi lagi jika terjadi kegagalan panen ataupun permasalahan lain yang menimpa petani. Petani cabai hanya 1 dari jutaan petani yang mungkin punya masalah yang berbeda-beda seperti sayuran, buah-buahan, dan lain sebagainya atau seperti petani garam yang belum lama ini menjadi pembicaraan hangat dikalangan para petani. Well, semoga Allah senantiasa melimpahkan Rahmat dan Kasih Sayangnya kepada keluarga Pak Matsani agar tetap sehat dan dimudahkan dalam segala urusannya. Anak beliau yang sebentar lagi akan pergi bekerja di pabrik otomotif semoga bisa membantu ekonomi keluarga ini menjadi lebih baik. Anak keduanya semoga diberikan semangat agar sekolah dan ibadah yang rajin hingga bisa menjadi dokter sesuai cita-citanya. Anaknya yang terakhirnya dan istri beliau semoga senantiasa dikuatkan dan diberi kesabaran begitupula denga mertuanya yang senantiasa hadir dan selalu memberikan semangat kepada kelurga kecil ini. Terima kasih Bapak Matsani sekelarga atas segala pelajarn berharga yang telah diberikan. InsyaAllah hingga kapanpun, kebaikan keluarga kalian akan selalu ku kenang, semoga diberikan kesempatan untuk bertemu lagi ^_^. CdT
Note:
Sumber foto dokumentasi pribadi
Publikasi nama dan foto telah mendapatkan izin dari yang bersangkutan
#SAJADHA1438H
#Jama’ah_Shalahuddin
#UGMMengabdi
Power Point yang Membosankan
Minggu, Agustus 27th, 2017Power point merupakan sebuah media yang dibuat untuk memudahkan seseorang dalam membuat rangkuman presentasi yang mengandung banyak materi.
Perlu dipahami bahwa power point harus bisa dipahami dengan the power of point. Hal ini berarti pembuatan power point harus dibuat seringkas mungkin yang terdiri dari point-point penting.
Masalah yang sering saya temui di kalangan mahasiswa adalah minimnya kreatifitas dalam pembuatan power point. Pada umumnya sering saya temui pada berbagai presentasi di kampus, para mahasiswa cenderung menggunakan template power point yang sangat sederhana serta diisi dengan tulisan yang penuh pada setiap slidenya.
Selain dipenuhi tulisan, power point (ppt) sering dibaca secara penuh oleh presentator. Secara tidak langsung hal ini telah menghilangkan makna dan tujuan pembuatan power point. Banyaknya tulisan yang dimuat didalam sebuah slide ppt kemudian membuat orang yang melihat presentasi tersebut menjadi malas untuk memperhatikan.
Kita tentu paham bahwa orang yang telah membuat atau menciptkan media power point ini dengan berbagai fitur pendukungnya tentu paham bahwa sebuah power point harus dibuat sekreatif mungkin agar dapat menarik perhatian orang yang melihat ppt tersebut. Sesekali orang berpendapat bahwa penggunaan animasi, dan berbagai gambar merupakan sebuah hal yang salah dan cenderung hanya boleh digunakan oleh anak-anak atau para remaja yang baru saja mengenal power point. Saya pikir ini sebuah pendapat yang keliru.
Pada akhirnya saya hanya dapat mengatkan bahwa jika anda ingin diperhatikan oleh orang lain maka buatlah sesuatu yang berbeda, yang dapat menarik perhatian orang lain. Mungkin sesekali terlihat lucu, tapi dengan begitu anda akan mendapatkan perhatian mereka. Karena lebih baik diingat karena berbeda, daripada dilupakan karena sama dengan yang lainnya ^_^. CdT